Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan)
NusantaraInsight, Makassar — Tata ruang itu secara sederhana berarti cara mengatur ruang. Sebagai sebuah cara, ia tak berarti hanya urusan teknis belaka. Bicara cara, maka perlu ada konsep, ada mekanisme, ada proses dan prosedur. Itu semua bisa bermula dari ide, gagasan, dan yang lebih penting dari itu adalah perspektif dan visi. Bicara mengatur, berarti ada otoritas, kewenangan, dan kekuasaan yang dimiliki, yang merujuk pada seperangkat aturan.
Mengatur ruang, pun perencanaan wilayah, memang butuh perspektif. Karena ia tak hanya berupa pengaturan dan peruntukan kawasan atau suatu area bagi permukiman, pusat bisnis, industri, perkantoran dan pendidikan, tempat-tempat pelesiran, atau ruang-ruang interaksi sosial lainnya. Tak sebatas itu. Ia juga harus cermat mempertimbangkan aspek dan dampak ekologis dalam jangka panjang. Bahkan, sangat penting menghitung kebutuhan aneka rupa.
Dalam hal Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), misalnya, mustahil mengharapkan ada RPTRA, jika mereka yang berada pada pucuk penentu kebijakan tidak memiliki perspektif anak, dan tidak punya paradigma tentang prinsip-prinsip perlindungan anak. RPTRA itu merupakan tempat atau ruang terbuka yang memadukan beragam aktivitas warga dengan mengimplementasikan 10 Program Pokok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dengan Program Kota Layak Anak (KLA).
KLA merupakan kota yang mampu merencanakan, menetapkan, serta menjalankan seluruh program pembangunan dengan orientasi pada hak dan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Ini dimaksudkan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Untuk menjadi KLA itu tidak ujug-ujug. Harus memenuhi sejumlah kriteria tertentu, yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan dengan melibatkan mutli-stakeholder, terpenuhinya hak-hak sipil dan kebebasan anak, hak-hak yang bertalian dengan lingkungan keluarga dan pengasuhan pengganti, serta hak-hak yang mencakup kesehatan dasar dan kesejahteraan.
Juga hak-hak yang terkait pendidikan dan kegiatan seni budaya, serta hak-hak anak yang masuk kategori children in need of special protection (CNSP). Sulit dibantah bahwa kesemua prasyarat yang ditentukan KLA itu sudah pasti berkaitan dengan persoalan planologi.
Coba baca fungsi RPTRA. Yakni, antara lain, sebagai ruang terbuka untuk publik, wahana bermain dan tumbuh kembang anak, sebagai sarana kegiatan sosial warga, untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan kader PKK, serta sebagai ruang terbuka hijau. Penyebutan “ruang terbuka”, “wahana bermain”, dan “sarana kegiatan” punya konotasi dengan penataan ruang, yang menuntut perspektif, kompetensi, dan visi. Karena hanya dengan begitu, program dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan menyentuh substansi yang merujuk pada nama RPTRA.