Ma’REFAT INSTITUTE Bahas Masalah Pembangunan dan Politik Kekuasaan di Indonesia

Ma'refat institute
Ma'refat institute

NusantaraInsight, Makassar — Dalam The Republic, Plato dengan sangat gamblang dan jelas mengaitkan politik (pengaturan kekuasaan) dengan etika. Begitu pula dengan muridnya Aristoteles. Bagi Aristoteles, etika dan politik itu sama-sama mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Itulah yang diuraikannya dalam The Nicomachean Ethics dan The Politics. Ia banyak berbicara ihwal perlunya bekerja sesuai  dengan peran, dan percaya bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Hal ini bisa tercapai bila seseorang menunaikan perannya dengan baik. Boleh jadi, dari kedua pemikir terkemuka inilah terlahir istilah ‘Etika Politik’.

Meraih kekuasaan pada dasarnya bukanlah merupakan aib, sesuatu yang tercela atau sebuah kejahatan, selama ia diraih dengan cara yang benar serta dilaksanakan di atas landasan nila-nilai yang benar pula. Bahkan dalam perspektif kearifan lokal di sejumlah daerah, kekuasaan seringkali dimaknai sebagai sesuatu yang telah ditakdirkan oleh kekuasaan Adikodrati yang diserahkan kepada seseorang. Gambaran ini sepertinya menemukan konteksnya, ketika mencermati dinamika dan diskursus politik yang mengemuka sejak tahapan pilpres hingga penetapan pemenang kontestasi Presiden dan Wakil Presiden 2024.

BACA JUGA:  Komunitas Pintu Literasi Indonesia Rutin Gelar Sedekah Duafa

Oleh karenanya, sekaitan dengan itu, Makassar Research for Advance Transformation (Ma’REFAT INSTITUTE) Sulawesi Selatan kembali menggelar diskusi rutin bulanan, Ma’REFAT Informal Meeting (REFORMING) ke-10 pada akhir pekan lalu, 28 April 2024. Yang dihadirkan sebagai pemantik, masing-masing: Dr. Muhammad Iqbal Latief, M.Si (Akademisi/Sosiolog Unhas), Dr. Andi Faisal, M.Hum (Ketua Prodi Kajian Budaya Unhas) dan Andi Manarangga Amir (Aktivis NGO dan Co-Founder LINGKAR-Lembaga Inisiasi Lingkungan & Masyarakat). Adapun tema yang dibincangkan ialah, “Membaca Ulang Peta Perjalanan Pembangunan Indonesia serta Politik Kekuasaan yang Menyertainya.”

Tampil sebagai pemantik awal, Dr. Andi Faisal, yang melakukan kilas balik perjalanan Bangsa. Reformasi 1998, (dianggap) memberi harapan “kebebasan” dan kebangkitan untuk mengatasi krisis multidimensi yang melanda. Praktik Otoritarianisme dan hegemoni Orde Baru dituding sebagai prime drive krisis multidimensi tersebut. Realitasnya, kemerdekaan dari “penjajahan” Orde Baru justru melahirkan praktik-praktik hegemoni baru di era pascareformasi. Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) justru makin menjadi. Hal yang lain menurutnya, munculnya triad (tiga serangkai) hak-hak kewargaan pascanasional (post-national citizenship rights) yaitu hak ekologis, hak budaya, hak identitas asli (sebelum kolonialisme) sebagai respons terhadap tuntutan hak-hak dominan pada era modern: hak-hak warga, hak suara, dan hak atas kesejahteraan.

br