PEMBANTAIAN DI FINAL LIGA CHAMPION EROPA 2025 DAN FILOSOFI BARU SEPAKBOLA

-000-

Ironisnya, ketika PSG diperkuat oleh trio termasyhur Lionel Messi, Neymar, dan Kylian Mbappé, mereka justru tak pernah mengangkat trofi Liga Champions.

Padahal, itu adalah barisan dengan nilai pasar tertinggi yang pernah disatukan dalam satu klub.

Tapi justru di sanalah letak kesalahan mendasarnya. Ego besar. Tekanan sponsor. Dan tim yang tidak seimbang.

Messi dan Neymar datang ketika masa emas mereka mulai pudar. Mbappé, meski jenius, seringkali menjadi matahari tunggal yang menyilaukan orbit tim.

Alih-alih menyatu, mereka berdiri sendiri-sendiri. PSG kala itu menjadi pentas megah tanpa orkestra. Tiga suara merdu, tapi tak pernah bernyanyi dalam harmoni.

Dan sepak bola, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang paling bersinar. Tapi siapa yang paling selaras.

-000-

Sejak Qatar Sports Investments mengakuisisi PSG pada tahun 2011, lebih dari €2,3 miliar telah digelontorkan untuk membangun tim impian.¹ Jumlah ini setara 42,5 trilyun rupiah.

Mereka membeli segalanya: Zlatan, Cavani, Thiago Silva, Messi, Neymar, dan Mbappé.

Namun tahun-tahun berlalu tanpa puncak. Kekalahan demi kekalahan menunjukkan satu hal sederhana: uang bisa membeli nama, tapi tidak bisa membeli keharmonisan.

BACA JUGA:  Dua Wakil ASEAN Lolos ke Perempat Final Piala Asia U23

Luis Enrique datang membawa angin baru. Ia mengubah arah. Dari klub selebritas menjadi klub pekerja. Dari nama besar menjadi jiwa besar.

Ia memberi panggung pada talenta muda: Doué, Mayulu, Barcola, Kolo Muani. Bukan hanya diberi menit bermain, tapi diberi kepercayaan.

Dan inilah buahnya: bukan sekadar trofi, tapi permainan yang menggugah—penuh semangat, tanpa beban, dan kolektif seperti tarian musim semi di padang hijau.

Di balik pesta lima gol, ada pelajaran batin yang lebih sunyi namun lebih dalam.

Sepak bola hari ini bukan lagi tentang satu raja di atas panggung. Ini tentang simfoni.

PSG 2025 mengajarkan bahwa tim yang menang bukanlah yang memiliki pemain terbaik, tapi yang paling memahami irama bersama.

Mereka tidak menang karena kecemerlangan. Mereka menang karena keutuhan.

Filosofi baru PSG adalah filosofi zaman baru: bahwa kemenangan datang bukan dari kemegahan, tapi dari harmoni.

Ini kemenangan dari kerja kolektif yang saling mempercayai, saling melindungi, dan saling mengisi ruang yang kosong.

BACA JUGA:  PSM Tahan Pemuncak Klasemen Borneo FC 1 - 1

Namun, di balik segala pencapaian ini, ada satu pelajaran taktis yang tak boleh diabaikan: PSG membuktikan bahwa sistem permainan yang fleksibel dan adaptif adalah kunci.

Luis Enrique tidak hanya mempercayai pemain muda, tetapi juga membangun formasi yang dinamis. Setiap pemain saling melengkapi peran—baik saat menyerang maupun bertahan.