*Refleksi: Siapa yang Disembelih Saat Kurban?*
Pertanyaan penting bagi kita adalah: apakah kita benar-benar menyembelih hewan, atau justru hewanlah yang menyembelih sisi kemanusiaan kita? Apakah kita membawa pulang daging, tapi meninggalkan nilai?
Kurban sejati adalah saat seseorang mampu menyembelih:
• Ambisinya yang berlebihan.
• Keangkuhannya yang menutupi kebenaran.
• Kecintaannya pada dunia yang melampaui batas.
• Kepentingan pribadi di atas maslahat umat.
Ketika seseorang bisa menyembelih itu semua, maka ia telah menjadi “manusia” dalam makna yang sebenarnya—makhluk spiritual yang kembali kepada fitrah: hanif, tunduk, dan berserah diri kepada Allah.
Berkurban bukan hanya menyembelih kambing atau sapi. Berkurban adalah menyembelih sifat-sifat rendah dalam diri kita yang menghalangi kedekatan kepada Allah. Ritual ini adalah sarana untuk memperbaiki diri, memurnikan niat, dan memperkuat karakter sebagai hamba yang tunduk kepada-Nya.
Setiap tetes darah yang mengalir dari hewan kurban seharusnya menjadi saksi bahwa kita sedang berjuang menyucikan jiwa. Bahwa kita tidak ingin hanya menjadi manusia secara fisik, tapi juga manusia secara ruhani—yang mampu mengalahkan sisi kebinatangan dalam dirinya.
Idul Adha menjadi momentum besar untuk merefleksikan: sejauh mana kita telah berkurban? Sejauh mana kita telah menyembelih ego, nafsu, dan hawa dunia dalam perjalanan menuju Allah?
Karena pada akhirnya, bukan daging dan darah itu yang sampai kepada Allah, melainkan hati yang tunduk, jiwa yang bersih, dan manusia yang telah menyembelih “sifat hewani” dalam dirinya.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H.