Makna Berkurban: Menyembelih Sifat Hewani dalam Diri Manusia

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, Makassar — Setiap kali Idul Adha datang, kita kembali menyaksikan penyembelihan hewan kurban yang berlangsung di berbagai penjuru dunia Islam. Umat Muslim menyembelih kambing, sapi, atau unta sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan simbol pengorbanan, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika hendak menyembelih putranya, Ismail, demi menjalankan perintah dari Tuhan.

Namun, kurban bukan hanya soal menyembelih hewan. Lebih dari itu, kurban adalah ibadah spiritual yang sarat makna batin: tentang bagaimana manusia menyembelih “sifat-sifat hewani” dalam dirinya sendiri.

*Kurban: Bukan Sekadar Ritual, tapi Transformasi Spiritual*

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan bahwa hakikat dari kurban bukanlah pada darah dan daging yang mengalir, tetapi pada takwa yang muncul dari hati yang bersih:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
(QS. Al-Hajj: 37)

Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah kurban bukan sekadar ritual lahiriah, tetapi perwujudan dari sikap batin yang ikhlas, tunduk, dan penuh penghambaan. Kurban menjadi simbol perlawanan terhadap hawa nafsu dan keakuan yang merusak, sekaligus sebagai latihan spiritual untuk mengasah jiwa dan membersihkannya dari sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada manusia.

BACA JUGA:  Dr Dahlan Lama Bawa: Ramadhan Momentum Membentuk Peradaban Utama

Apa Itu Sifat Hewani dalam Diri Manusia?

Dalam perspektif tasawuf dan filsafat Islam, manusia terdiri dari dua dimensi: dimensi ruhani (ilahi) dan dimensi jasmani (hewani). Dimensi ruhani bersumber dari cahaya ilahi yang mendorong manusia kepada kebaikan, sedangkan dimensi hewani adalah bagian dari insting dasar manusia seperti marah, serakah, tamak, rakus, sombong, dan nafsu syahwat.
Sifat hewani adalah karakter-karakter rendah yang jika tidak dikendalikan akan menyeret manusia ke dalam kebinasaan moral dan spiritual. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa sifat-sifat seperti kebinatangan, kebuasan (sabu’iyyah), kesyaitanan, dan kehewanan (bahimiyyah) adalah fitrah dasar yang perlu dididik dan dikendalikan agar tidak merusak kemanusiaan seseorang.

Ketika seseorang dikuasai sifat hewani, maka ia akan berperilaku bagai binatang: memperturutkan syahwat tanpa kendali, merampas hak orang lain, menyakiti sesama, dan menolak kebenaran karena ego. Dalam konteks inilah, penyembelihan hewan kurban menjadi simbolik dari usaha menyembelih sifat-sifat tersebut dalam diri manusia.

Belajar dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail
Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail bukan hanya kisah sejarah, melainkan potret ketundukan total terhadap perintah Allah. Ketika Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anak yang sangat dicintainya, Ismail, beliau tidak menolak atau mencoba bernegosiasi. Ia serta merta menjalankan perintah itu dengan penuh keikhlasan, meskipun bertentangan dengan rasa cinta sebagai seorang ayah.