3/
Sebagai contoh pembanding, saya sampaikan sebuah kegiatan di Bulan Bahasa Oktober 2009, di Auditorium SMA Pelita Harapan, Lippo Village, Karawaci, Kabupaten Tangerang, Banten. Saat itu saya diundang pihak sekolah untuk menjelaskan proses kreatif penulisan novel _Nagabonar Jadi 2_ dilanjutkan dengan tanya jawab dengan para siswa. Sebuah kegiatan literasi yang terlihat biasa saja, bukan?
Yang tidak biasa adalah seluruh murid _sudah membaca_ novel itu sebelum acara dimulai sehingga diskusi benar-benar berjalan aktif dan produktif. Kualitas pertanyaan yang diajukan pun seperti dosen pembimbing yang menguji skripsi mahasiswa. Tidak ada pertanyaan trivia atau bersifat basa-basi.
Di tempat yang sama, pada Bulan Bahasa tahun sebelumnya, saya menyaksikan langsung bagaimana Ahmad Tohari juga mendapat pertanyaan kritis tentang _Ronggeng Dukuh Paruk_ dari anak-anak SMA yang _sudah membaca_ novel itu dan memiliki pengetahuan kesastraan lebih tinggi bahkan dibandingkan rerata mahasiswa (kecuali mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia).
Artinya, program semacam “Sastra Masuk Kurikulum” ini sebenarnya sudah berlangsung lama pada sekolah-(sekolah) tertentu, bahkan sekolah swasta, yang berdasarkan citra mereka—seperti Pelita Harapan itu—seakan tidak peduli dengan Sastra Indonesia, tetapi tanpa banyak publikasi gegap-gempita justru punya program serius mengenalkan karya penulis Indonesia.
4/
Kendati demikian, setelah melihat daftar lengkap 177 karya sastra yang direkomendasikan kepada anak didik dari jenjang SD – SMA, saya melihat kerja kurator (17 orang sastrawan produktif saat ini seperti Eka Kurniawan, Okky Madasari, Triyanto Triwikromo, M. Aan Mansyur, Abidah El-Khalieqy, Oka Rusmini, dan lain-lain) serta para _reviewer_ (39 orang guru dan kepala sekolah) sudah cukup baik dan representatif dalam pilihan karya. Baik berdasarkan rentang tahun terbit karya yang mencakup satu abad (karya tertua adalah roman _Si Jamin dan Si Johan_ gubahan Merari Siregar, terbit 1921), dan keseimbangan pilihan komposisi karya serius dan populer (ada seri _Lupus_ dari Hilman Hariwijaya, _Balada Si Roy_ karya Gol A Gong, atau _Karmila_ dari Marga T).
Masuknya karya para kurator ke dalam daftar rekomendasi seperti _Cantik Itu Luka_ (Eka Kurniawan), atau _Surga Sungsang_ (Triyanto Triwikromo), menurut saya bukan sebuah privilese ‘ordal’ apalagi pengkhianatan idealisme, mengingat para kurator juga para penulis berbobot peraih beragam penghargaan penulisan di ajang nasional dan internasional. Sehingga jika ke-17 kurator diharamkan merekomendasikan karya sendiri sebagai bacaan para siswa, maka untuk jangka panjang tidak akan ada lagi kalangan sastrawan yang bersedia ditunjuk menjadi kurator untuk tugas seperti ini karena berarti harus mengorbankan karya pribadi.