Padahal jika tim penyusun ‘buku panduan’ memang _membaca_ novel _Nagabonar Jadi 2_, pada halaman terakhir “Tentang Penulis” ada informasi akurat tentang tempat dan tanggal lahir saya, dan informasi lainnya, dibandingkan info—meminjam istilah Nirwan—”disinformasi, jika bukan kebohongan”, yang entah dikutip dari sumber mana dan begitu melencengnya bahkan dibandingkan data yang tersedia di Wikipedia.
Kesalahan informasi tentang saya lainnya yang tak kalah fatal adalah pada bagian ini, “Namun, karya paling terkenalnya adalah seri novel _Rantau 1 Muara_ yang menelusuri kehidupan masyarakat Minangkabau …”
Ini benar-benar mencemaskan!
Bagaimana bisa tim Kemendikbud/Pusat Buku yang ditopang 17 kurator dari kalangan sastrawan ternama dan 39 _reviewer_ dari kalangan guru dan kepala sekolah berpengalaman beragam jenjang pendidikan, sampai sedemikian sembrono menisbatkan karya monumental A. Fuadi (yakni trilogi _Negeri 5 Menara_, _Ranah 3 Warna_ dan) _Rantau 1 Muara_ sebagai karya saya?
Bagaimana jika info dalam “buku panduan” itu disampaikan mentah-mentah oleh guru SMA/MI kepada para anak didik tanpa sempat dicek lagi kesahihannya?
Dalam konteks novel _Nagabonar Jadi 2_, seharusnya tim penyusun ‘buku panduan’ juga menambahkan informasi bahwa karakter Nagabonar ini diciptakan oleh Asrul Sani melalui film _Naga Bonar_ (1986) dan mendapat penyempurnaan dari Deddy Mizwar sebagai aktor yang memerankan tokoh itu, sekaligus sebagai sutradara pada film kedua yang berselang 21 tahun kemudian (2007). Adalah fakta bahwa aetelah Asrul Sani, orang kedua yang paling memahami karakter dan sosok Nagabonar adalah Deddy Mizwar. Bukan saya. Maka apresiasi yang sepatutnya juga perlu diberikan kepada dua tokoh tersebut di dalam ‘buku panduan’ secara gamblang sehingga tidak terkesan bahwa _Nagabonar Jadi 2_ merupakan karya orisinal saya, meski saya penulis novelnya.
Untuk kritik Nirwan saya cukupkan satu poin saja dari sejumlah poin lain (yang lebih serius) karena keterbatasan ruang tulisan ini. Bagi yang tertarik meneroka Surat Terbuka Nirwan Dewanto lebih seksama, silakan baca pada tautan berikut ini:
Opini saya ini memang belum menyelusup ke jantung program “Sastra Masuk Kurikulum” yang dipersoalkan Nirwan, dan sejumlah kalangan lain yang riuh rendah di media sosial dalam beberapa hari terakhir. Saya hanya ingin menyajikan contoh sederhana tentang karut-marut penyajian “buku panduan” yang ternyata tidak berhasil memandu pembaca dengan informasi sahih.