Salah satu kisah yang menarik datang dari Dan Kwon, seorang warga Jerman keturunan Korea yang kebetulan menyaksikan pertunjukan di Jeonju. Ia menceritakan bahwa anaknya yang baru berusia sepuluh bulan ikut menikmati pertunjukan. “Saat acara berlangsung anak saya tertidur, tapi begitu mendengar musik Wayang Sasak, dia terbangun dan menonton pertunjukan hingga berakhir,” ujarnya. Kisah sederhana ini memperlihatkan bahwa kekuatan musik dan cerita tradisional mampu menembus batas usia dan bahasa.
Keberhasilan SPWS di Korea menjadi bukti bahwa seni tradisi dapat berbicara di panggung global. Kehadiran mereka atas undangan resmi CICS dan penghargaan JIAPICH 2025 semakin menegaskan posisi Wayang Sasak sebagai warisan budaya takbenda yang relevan dengan isu-isu global seperti perdamaian, keberlanjutan, dan kemanusiaan.
*Pesan Perdamaian dari Timur*
Lakon Benih Perdamaian dari Timur bukan sekadar cerita mitologis; ia merupakan refleksi spiritual yang mendalam. Di tengah dunia yang kian terpecah oleh perang, konflik, dan perbedaan ideologi, Wayang Sasak hadir sebagai suara dari Timur—suara yang lembut, penuh kasih, dan mengajak manusia untuk kembali kepada fitrahnya sebagai makhluk damai.
Dalam pertunjukan itu, karakter Wa dan Tol, dua tokoh wayang botol khas SPWS, berperan penting sebagai penyebar benih perdamaian. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari cerita, tetapi juga mengajak penonton untuk ikut serta menjadi “pasukan perdamaian.”
Penonton anak-anak diajak menanam benih perdamaian secara simbolik, menandai keterlibatan langsung publik dalam proses penciptaan makna. Inilah bentuk teater partisipatif yang menggabungkan seni pertunjukan tradisional dengan nilai pendidikan moral universal.
Di akhir pementasan, seluruh hadirin diminta berdiri dan berdoa bersama untuk perdamaian dunia—sebuah momen hening yang menggema dalam ruang pertunjukan. Doa itu ditujukan untuk para korban perang, terutama anak-anak, agar mereka dapat tumbuh dalam lingkungan yang damai.
Kepala Sekolah SPWS, H. Safwan, mengungkapkan rasa syukur atas apresiasi luar biasa dari publik internasional. “Alhamdulillah, ternyata Wayang Sasak bisa diterima oleh penonton internasional,” ujarnya. Namun, ia juga menyampaikan harapan yang mendalam agar anak-anak muda Lombok tidak malu mencintai dan mempelajari budayanya sendiri.
Pernyataan Safwan menjadi pengingat penting bahwa keberhasilan di luar negeri seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat akar budaya di dalam negeri.
Pertunjukan Wayang Sasak di Korea bukan sekadar ekspor budaya; ia adalah dialog antarperadaban. Ketika Kembang Dangar dari Lombok bersatu dengan Mugunghwa dari Korea, kita menyaksikan metafora tentang pertemuan dua bunga yang mekar di tanah yang berbeda, namun mengharumkan dunia dengan pesan yang sama: perdamaian.














