Cerpen Oleh: Mulyati, S.Pd.,M.Pd
Hari itu sabtu, matahari sedikit lagi terbenam aku kuatkan langkahku, aku kuatkan hatiku, aku akan pergi jauh, aku ingin melepas rasa putus asa dan rasa kecewa yang sudah menguasai seluruh jiwa ragaku.
Langkahku pasti menuju Dermaga kota Angin Mammiri, Dermaga Makassar akan menjadi sejarah, akan menjadi saksi akhir dari sebuah harapan akan hidup bahagia dengan pujaan hati.
Tanpa terasa akupun masuk ke pintu Dermaga, laut lepas sudah kelihatan, rona merah di penghujung langit menambah pilunya hatiku, aku akan pergi jauh meninggalkan Butta Salewangan dengan seribu kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan.
Tiba-tiba serasa digerakkan aku menoleh ke belakang, aku melihat sosok gadis manis yang selama ini ku puja ku sanjung dan harapanku menjadi pendamping hidupku.
Gadis itu Diani begitulah panggilan di Desaku. Diani gadis yang banyak dipuja oleh anak-anak muda di Desaku, selain cantik, tutur katanya lembut, cerdas juga anak seorang tokoh masyarakat yang sangat di kagumi dan dihormati.
Diani selama ini menjadi penyemangat diriku, penyemangat hidupku dan cita-citaku kini berdiri dengan tatapan mata kosong, satu per satu buliran air mata jatuh dipipinya yang lembut dan manis
Dengan mata yang sembab aku bertanya “ Diani kenapa kamu ke sini ?, dengan siapa kamu datang ?, apakah orangtuamu mengetahui kamu ke sini ke Dermaga Makassar,” tanyaku bertubi-tubi, .
Serasa mulutnya terkunci dia hanya berdiri memandang dengan tatapan kosong kepadaku, aku kemudian lebih mendekat kepadanya dan menatapnya dalam-dalam.
“Dimas benarkah kau akan pergi, kau tak akan kembali lagi,” tanya Diani dengan suara lirih sambil mengusap air matanya.
Aku tatap matanya yang sendu dengan dada sesak dengan hati yang pilu saya menjawab “Diani saya akan pergi demi pengabdianmu pada orang tuamu, terima pilihan orang tuamu, doaku semoga kau selalu bahagia, lupakan aku, lupakan kenangan kita pergi sekolah bersama, belajar bersama, melintasi sawah bersama, selamat tinggal, jaga dirimu baik baik”.
Hanya itu yang mampu aku ucapkan.
“Dimas aku tak akan pernah bisa melupakanmu sepanjang hayatku, kata Diani sambil meggenggam erat tanganku,” aku hanya bisa mengangguk dengan hati yang hancur. Harapan untuk hidup bersama dengan penuh bahagia kini hilang karena perbedaan kasta dan uang Panai yang tak mampu aku tembus.
Jam sudah menunjukkan pukul 06.30 suara azan magrib pun berkumandang, aku kembali menatap Diani dalam-dalam, di hatiku kecilku ku rasakan pilu, begitupun Diani senyumnya yang manis tak lagi terlihat, lampu malam menambah sedihnya hati yang sebentar lagi akan berpisah.