Dari pendekatan sederhana itu, Remy Sylado yang mengekspresikan bahwa meskipun kita berbeda, pada inti kehidupan kita tetap sama.
Pesan itu sangat relevan dengan hasil Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang berlangsung di Bandung, yaitu menghormati hak-hak manusia, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara, mengakui persamaan derajat semua ras dan negara, dan lain-lain.
Mahasiswa lainnya, Kurni Suci Ramadhani, misalnya, menulis, secara metaforis, puisi ini tidak hanya menggambarkan tindakan individu, tetapi juga dapat ditafsirkan sebagai simbolisme dari hubungan antara Asia dan Afrika.
Remy Sylado tampaknya ingin menunjukkan bahwa meskipun ada kesamaan dalam pengalaman atau tindakan (yang diwakili oleh kesamaan urutan tindakan antara kedua tokoh), mereka tetap terpisah secara fisik dan emosional oleh jarak geografis dan budaya yang jauh. Ini bisa dianggap sebagai metafora dari situasi hubungan antarnegara di Asia dan Afrika, terutama dalam konteks sejarah politik sebagaimana dituangkan dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, yang bertujuan untuk memperkuat persatuan dan kerja sama antarbangsa, meskipun masih ada perbedaan besar yang harus dihadapi.
Komentar Kurni Suci Ramadhani ini menghubungkan relasi historis antara perwakilan dua negara dari dua benua yang berbeda. Kontennya, meskipun terkesan sedikit ‘sensual’, namun menggambarkan kesamaan ‘budaya’ yang tergambarkan melalui sejumlah frasa dan kalimat di dalam puisi tersebut.
Lain pula komentar Salwa Meuthia. Dia menyimpulkan, puisi karya Remy Sylado ini merupakan karya yang kaya akan makna dan interpretasi. Dia menggunakan perbandingan dan metafora sederhana untuk menyampaikan pesan yang dalam tentang hubungan antarbangsa dan kemanusiaan universal. Dia mengingatkan kita bahwa meskipun manusia pada dasarnya sama, perbedaan budaya dan jarak geografis masih menjadi tantangan dalam membangun solidaritas yang sejati.
Marsya Amel Ramadhani berkomentar sesuai pengertian majas metafora terlihat bahwa hubungannya dengan puisi ini memiliki perbandingan.
Dalam puisi tergambar jelas seorang perempuan bernama Mei Hwa dan seorang lelaki bernama Farouk yang melakukan hal yang sama pada waktu yang bersamaan. Terdapat hal kontras yang kuat antara tindakan-tindakan yang dilakukan keduanya dengan judul puisi, “Kesetiakawanan Asia-Afrika.”
Judul tersebut mengarahkan pembaca mengharapkan cerita tentang persatuan dan kerja sama antarnegara, namun realitasnya adalah dua orang asing yang hidup dalam dunia mereka sendiri. Dapat disimpulkan, hubungan antara keduanya terletak pada judul dan isi dari puisi tersebut.