Perfeksionisme, Antara Ilmu dan Ibadah
Di tengah dunia akademik yang semakin pragmatis dan transaksional, perfeksionisme sering dicibir sebagai hambatan. Namun dalam diri Prof. Nurhayati, perfeksionisme adalah ibadah tersembunyi. Ia bukan keterikatan pada hasil sempurna, tetapi penghormatan pada proses. Setiap kalimat, setiap catatan, bahkan setiap kutipan adalah bentuk zikir intelektual sebuah cara untuk menyucikan ilmu sebagai bentuk tanggung jawab spiritual.
“Prof. Nur itu perfeksionis,” Kata Prof. Dr. Mardi Adi Armin
Namun ini bukan perfeksionisme yang mengekang, melainkan yang membebaskan yakni membebaskan ilmu dari sebatas angka, membebaskan pengetahuan dari sebatas publikasi, membebaskan murid dari sebatas menjadi objek ajar menjadi subjek pembelajar.
Dari Memoar Menjadi Cermin Diri
Buku ini bukan hanya memoar, tetapi tafsir kehidupan. Ia tidak menuntut pembaca untuk mengagumi, tetapi mengajak untuk merenung. Tentang bagaimana kita memaknai tradisi, bagaimana kita memahami keberanian, dan *bagaimana kita menempatkan perempuan dalam sejarah pengetahuan.*
*Tradisi bukan belenggu jika dihayati sebagai akar. Santri bukan kuno jika dimaknai sebagai kompas nilai. Dan perempuan bukan subordinat jika kualitasnya melampaui kebutuhan akan validasi.*
*Fajar yang Tak Pernah Usai*
“Putri Sang Fajar” bukanlah kiasan yang indah semata, melainkan metafora eksistensial. Karena menjadi fajar bukan tentang datang lebih awal, tetapi tentang membawa cahaya pada saat dunia masih gelap. Dan memoar ini adalah cahaya itu. Bukan cahaya yang menyilaukan, tapi cahaya yang membimbing yakni halus, tekun, dan setia pada nilai. ~ pungkas Prof. Mardi
Maka jika kita merenung hari ini, mungkin pertanyaan yang lebih penting bukanlah apa yang telah kita capai, tetapi
*”Nilai apa yang telah kita hidupkan?”*
Dan dalam perjalanan hidup Prof. Nurhayati Rahman, kita menemukan jawabannya:
Bahwa hidup yang paling bercahaya adalah hidup yang dijalani sebagai fajar.
_Parang Tambung, 25/9/2025 | 03.00 dinihari_