Prof. Mardi: Prof. Nurhayati Rahman Putri Sang Fajar

Luka tidak dihapus, tetapi dipeluk sebagai bagian dari pertumbuhan. Keberanian tidak diumbar, tetapi dijalani. Kesetiaan pada nilai dijalani dalam diam, bukan karena takut bersuara, tetapi karena tahu bahwa yang paling abadi sering kali bukan yang terdengar paling nyaring.

“Prof. Nur itu petarung. Pantang untuk menyerah.”* ~ Prof. Mardi

Dalam wajahnya yang tenang, tersimpan disiplin hidup yang hanya dimiliki oleh mereka yang berdamai dengan sunyi. *Santri, dalam makna terdalamnya, bukan hanya mereka yang tinggal di pesantren. Tetapi mereka yang menghidupi nilai keislaman dalam diam.

Dan begitulah sosok Prof. Nurhayati yakni tanpa embel-embel ustadzah atau agama, tetapi dengan esensi yang jauh lebih luhur dari sebatas simbol agama.

“Dalam dirinya ada esensi santri dan tradisi. Namun yang dominan adalah keberanian… dan bandel.”

Bandel. Kata yang terdengar remeh dalam keseharian, namun dalam tafsir Prof. Dr. Mardi Adi Armin, menjadi sebuah etika intelektual. Bandel bukan perlawanan kosong, tetapi keteguhan epistemik menolak tunduk pada kebekuan sistem, menolak kompromi dengan ketidakadilan struktural. Seperti Galileo yang “bandel” pada dogma demi sains, seperti Kartini yang “bandel” pada patriarki demi masa depan. *Bandel adalah bentuk ketaatan tertinggi kepada nurani, bukan pembangkangan atas tatanan.*

BACA JUGA:  Amorfati yang Amerta

“Kalau ada Renaisance di dunia dan Asia, maka Prof. Nurhayati lah orangnya.”

Pernyataan Prof. Dr. Mardi Adi Armin pada momen tersebut bukan hiperbola. Karena Renaisans sejati adalah saat intelektualitas bertemu spiritualitas, ketika ilmu tak hanya menjadi alat teknis, tetapi jalan pembebasan. Dan itulah yang dilakukan Prof. Nurhayati bahwa *membebaskan warisan, membebaskan makna, dan membebaskan perempuan dari pinggiran sejarah ke pusat peradaban.*

Keluarga, Asal Usul yang Sering Dilupakan

Dalam banyak sistem pendidikan modern, keluarga sering direduksi menjadi latar belakang. Namun dalam memoar ini, keluarga bukan latar, melainkan akar dari segalanya. Dalam sabda ayah, dalam laku ibu, Prof. Nurhayati belajar bukan teori, tapi nilai. Belajar bukan untuk mendapat skor, tetapi untuk menjadi manusia seutuhnya.

“Institusi pendidikan terbaik itu ada pada keluarga. Kurikulum terbaik itu juga ada di keluarga.” ~ Prof. Dr. Mardi Adi Armin

Plato menyebut pendidikan sebagai proses mengingat kembali hakikat jiwa. Freire melihatnya sebagai praksis kebebasan. Tapi dalam memoar ini, pendidikan adalah proses penyatuan antara yang diketahui dan yang dijalani. Ia bukan sebatas kurikulum yang tertulis, melainkan kebijaksanaan yang hidup.