Mas Yudhis mendorong saya melakukan liputan internasional, di antaranya, Montreux Jazz Festival, Swiss 1996, sekaligus selebrasi 30 tahun festival jazz prestius yang dimulai pada 1966 itu; MTV Music Awards 1996 di Radio City Music Hall, NYC; dan pemakaman Putri Diana Spencer, Inggris, 1997—kelak pemakaman sensasional ini ini menjadi bingkai peristiwa bagi novel saya _Dilarang Bercanda dengan Kenangan_ (2018).
Dalam rapat-rapat redaksi _Gatra_ ketika redaktur pelaksana lainnya sering mengkritisi—bahkan menyatakan keberatan—tentang perlunya liputan internasional untuk rubrik musik, Mas Yudhis dengan kalem selalu menyajikan argumentasi mengapa ‘majalah politik’ tetap harus menurunkan liputan tentang puncak-puncak dunia seni populer. “Sebab pembaca kita beragam,” katanya. “Mereka bukan hanya mau baca berita politik, tetapi peristiwa-peristiwa lain yang menarik.”
Dalam pandangan mayoritas para redaktur senior saat itu, mungkin saja Mas Yudhis terlihat seperti—mengutip sajaknya “Biarin” yang saya cuplik di awal tulisan ini–seakan-akan “bajingan” atau “perampok” (dalam arti positif), untuk ide-idenya yang memberontak dari pakem konvensional pemilihan topik berita.
3/
Sabtu, 16 Januari 2016–dua hari setelah peristiwa ledakan ‘Bom Sarinah’ yang menggegerkan Indonesia, saya menginisiasi kunjungan ke sekolah Batutis Al-Ilmi, Bekasi, bagi anggota WAG FAMMI (Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia).
Sekolah Batutis Al-Ilmi berbasis Metode Sentra, terinspirasi dari konsep Beyond Centers and Circle Time (BCCT) yang dikembangkan pakar pendidikan Pamela Phelps, PhD, di Florida, Amerika Serikat. Metode ini dirancang sebagai _non-direct teaching_ untuk memenuhi kebutuhan tiga jenis main sebagai moda belajar anak usia dini, yaitu main sensorimotor, main pembangunan, dan main peran (Sara Smilansky, 1992, dan Charles H. Wolfgang, 1991). Pemenuhan kebutuhan ketiga jenis main dijalankan secara terpadu dan terukur sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Di Indonesia, konsep ini pertama kali diperkenalkan drg. Wismiarti Tamin, pendiri Yayasan dan Sekolah Al Falah, Jakarta, setelah berkeliling AS, mengunjungi sejumlah pusat pendidikan anak dan bertemu Doktor Phelps pada 1996. Sembilan tahun kemudian, pada September 2005, Mas Yudhis dan istri, Sisca Massardi, mendirikan sekolah Batutis Al-Ilmi dengan mengadopsi Metode Sentra sebagai basis. Sekolah bagi anak-anak kaum duafa di lingkungan mereka itu dijalankan di garasi rumah. Awalnya hanya dari segelintir anak, tetapi terus bertambah sehingga harus dibangun gedung sekolah.