Peluncuran Dua Buku Puisi Esai & Bedah Buku Irsyad Mohammad

*Buku Kedua: Lima Saksi Reformasi Denny JA dalam Atas Nama Cinta.*

Buku ini adalah pembacaan akademik-puitik atas karya Atas Nama Cinta (2012) karya Denny JA, yang menandai lahirnya genre puisi esai sebagai “genre puisi baru” di Indonesia. Irsyad, sebagai penyair sekaligus sejarawan, tidak sekadar menilai secara estetika, tapi membongkar lapis-lapis sejarah di balik puisi-puisi Denny JA. Ia membaca lima kisah diskriminasi dalam buku itu—soal SARA, etnis, gender, dan orientasi seksual—sebagai arsip sosial dan kesaksian zaman. Dengan pendekatan historiografi dan hermeneutika, Irsyad menempatkan puisi-puisi itu sebagai sumber sejarah alternatif, bukan sekadar sastra.

Dalam pembacaannya, Irsyad mengungkap bagaimana puisi-puisi dalam Atas Nama Cinta tidak berdiri di ruang hampa. Ia menelusuri fakta-fakta yang melatari puisi itu, mengulas struktur naratifnya, dan mempertanyakan sejauh mana puisi bisa menjadi alat dokumentasi sosial. Ia juga mengkritik dan memuji, membandingkan dengan gerakan puisi esai di negara lain, serta menyoroti jejak intelektual yang dimulai dari buku ini hingga membentuk *angkatan sastra baru: Angkatan Puisi Esai.*

BACA JUGA:  Amir Jaya Mengaji Ombak Tanadoang di Pantai Biru Makassar

Irsyad membongkar lapis sejarah di balik lima kisah diskriminasi dalam buku itu, membaca puisi esai Denny JA- Atas Nama Cinta (2012) bukan saja sebagai puisi melainkan sebagai arsip sosial, dan menempatkannya sebagai sumber sejarah alternatif.

Analisisnya memadukan analisa historis, hermeneutika, kritik sastra, dan perspektif HAM, sehingga relevan bagi peneliti, aktivis, jurnalis, dan siapa saja yang percaya bahwa sastra dapat menjadi alat advokasi dan perlawanan. Buku ini tidak hanya penting bagi peneliti sastra, tapi juga bagi aktivis HAM, sejarawan, jurnalis, dan siapa pun yang percaya bahwa *puisi bisa menjadi alat advokasi, alat memori, dan bahkan alat perlawanan.* Juga suara bagi kaum yang tak bersuara.

Buku ini menegaskan bahwa puisi bukan hanya soal estetika, tapi juga *senjata ideologis* dalam memperjuangkan hak dan melawan diskriminasi. Sebagai sejarawan, Irsyad mampu menunjukkan bahwa puisi tak harus dipisahkan dari sejarah. Justru, dalam dunia yang penuh manipulasi dan lupa ingatan, puisi esai hadir sebagai perlawanan yang sunyi namun tegas. Sebuah genre yang tidak hanya ingin menggerakkan rasa, tapi juga menggugah akal sehat dan kesadaran sosial.

BACA JUGA:  Catatan pertunjukan Teater Kepahlawanan Sultan Hasanuddin: SANG HERO PENJAGA MARTABAT MANUSIA

Kedua buku ini adalah bagian dari kerja sunyi seorang penulis yang tak ingin sekadar menjadi penyair. Irsyad Mohammad tampil sebagai seorang intelektual publik muda yang menulis tidak untuk menara gading, tapi untuk jembatan. Untuk menjembatani kata dan dunia nyata, antara luka dan wacana, antara sejarah dan sastra.