Nurul Irsan Asrul dan Alarm Krisis Ekologi Lewat Kriya Pirografi

Oleh: Rusdin Tompo (penulis dan pegiat literasi)

NusantaraInsight, Makassar — Pirografi (pyrography) dapat melatih kesabaran seseorang dalam berkarya. Itulah yang dirasakan oleh Nurul Irsan Asrul, setahun terakhir, sejak dia mendalami seni kriya ini. Dia mulai serius menggelutinya sebagai bagian dari pembimbingan untuk studi khusus.

Pemuda kelahiran Tanah Beru, Kabupaten Bulukumba, 31 Desember 2000, ini mengaku memilih kriya pirografi untuk dipamerkan pada 28-30 Oktober 2024, karena dapat memberikan keseimbangan ekspresi kreatif dan keterampilan, layaknya sisi timbal balik dalam satu keping mata uang. Pirografi yang menggunakan medium kayu ini merupakan media baru baginya yang mengasyikkan, juga menantang.

Pyrography terdiri dari kata “pyro” dan “graphy”, yang berasal dari bahasa Yunani. Akar kata “pyro” adalah “pyre”, berarti api, sedangkan “graphy” punya akar kata “graphos” yang berarti tulisan. Grafi sendiri memiliki pemaknaan yang beragam, yakni menulis, menggambar, seni, dan juga sains. Intinya, elemen kriya seni ini menggunakan api yang kemudian akan membakar permukaan kayu, kulit, atau bahan lain untuk membentuk sebuah gambar atau lukisan sesuai imajinasinya perupanya.

BACA JUGA:  Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Sulsel Segera Diresmikan Tahun ini

Merujuk pada sejarah, pirografi sudah ada sejak zaman prasejarah. Di masa itu, manusia purba menggunakan sisa-sisa api mereka untuk membuat desain. Sementara di Tiongkok, seni yang sudah berkembang sejak masa Dinasti Han ini disebut dengan nama sulaman jarum api.

Seni pirografi mengalami kemajuan setelah ditemukannya alat mekanis sekira tahun 1900. Selanjutnya, pada awal Abad XX, mesin ukir kayu kawat panas semakin mengotomatisasi pengerjaan dan penciptaan karya seni pirografi. Di beberapa negara, seperti di Rumania, Polandia, Hongaria, dan Argentina, seni ini merupakan kerajinan rakyat. Di Amerika Serikat, pirografi sempat berkembang pesat dan menjadi populer antara tahun 1880-an hingga 1920-an.

Kerajinan dua matra ini, sesungguhnya cukup berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sejumlah seniman dan perajin membuat karya seni dan kerajinan dengan pendekatan pirografi untuk membuat ragam hias flora, fauna, manusia atau bentuk-bentuk abstrak yang estetik. Seni pirografi ini dijadikan semacam ekspresi dan eksperimen dalam berkarya yang tak kalah kualitas estetikanya. Karya-karya perupa dan/atau perajin mewujud lukisan atau kerajinan tangan yang dijadikan sebagai cendera mata.

BACA JUGA:  PUNNA INAKKE WALIKOTA

Untuk Pado sendiri, yang masih tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Muhammadiyah (Unismuh), Makassar, mengaku mendapat banyak pengalaman dalam studi khusus ini. Sebab, melalui studi khusus, dia berkesempatan mempelajari teknik dasar pirografi, mulai dari mengontrol panas atau suhu hingga bagaimana menggunakan gaya tertentu dalam berkarya.