Enkripsi ini menarik, karena seni di sini tidak hanya menjadi representasi, tetapi juga medium arsip. Sama seperti oksigen yang tak terlihat namun vital, huruf organik menjadi tempat menyimpan memori yang suatu hari mungkin bisa dibuka kembali. Bahkan, Mantra melatih AI dengan huruf-huruf ini, menghasilkan karya visual dan bunyi yang seolah berasal dari peradaban asing. Dengan demikian, karyanya tidak hanya berbicara pada masa kini, tetapi juga menyimpan pesan untuk masa depan.
*Musik, Visual, dan Irama Ketidaksadaran*
Selain melukis dan menciptakan huruf, Mantra juga akrab dengan musik. Ia melihat semua seni pada dasarnya sebagai frekuensi: visual diterima oleh mata, musik oleh telinga. Dalam praktiknya, ia mencoba menyilangkan keduanya. Lukisan bisa dibaca sebagai musik visual; musik bisa dilihat sebagai puisi tak sadar.
Baginya, ketidaksadaran adalah sumber yang murni. Rasio, algoritma sosial, atau ekspektasi publik justru sering membatasi kreativitas. Maka, dalam melukis, membuat musik, atau bereksperimen dengan AI, ia membiarkan ketidaksadaran mengalir. Hasil akhirnya adalah kesadaran baru yang muncul setelah dialog dengan material dan medium. Dengan cara ini, Oxygen Poetry menjadi upaya menangkap irama tak sadar lalu mewujudkannya dalam bentuk yang bisa dirasakan.
*Seni, Identitas, dan Era Algoritma*
Diskusi juga menyinggung batas geografis seni rupa Indonesia. Dahulu, seni sering didefinisikan berdasarkan identitas lokal: Timur atau Barat, tradisi atau modern. Namun di era algoritma, batas itu kabur. Gaya visual bisa berpindah melintasi negara hanya dengan sekali klik. AI mampu memproduksi pola khas Barat di Timur, atau sebaliknya, tanpa perlu perjalanan fisik.
Bagi Mantra, hal ini tidak menjadi ancaman. Pada dasarnya manusia adalah penduduk dunia. Identitas tetap penting, tetapi yang lebih penting adalah apa yang bisa dibuat bersama. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa algoritma cenderung bekerja dengan pola repetitif. Jika seniman tidak menjaga kejujuran personal, karya mudah terjebak dalam formula yang bisa ditebak. Karenanya, seni harus kembali pada kebutuhan batin kreator, bukan sekadar permintaan pasar.
*Penutup: Oksigen sebagai Misteri yang Menghidupi*
Pameran Oxygen Poetry bukan hanya kumpulan lukisan. Ia adalah ruang permenungan tentang tubuh, teknologi, dan kesadaran organik. Oksigen dipilih bukan karena ia tampak, melainkan karena ia vital, diam-diam menjaga kehidupan. Demikian pula seni: sering luput dari kesadaran, tetapi justru menjadi nafas batin yang membuat manusia tetap hidup.