*AI: Antara Ancaman dan Alat*
Pameran ini juga menarik karena melibatkan teknologi kecerdasan buatan (AI). Di mata sebagian kalangan, AI dipandang sebagai ancaman bagi orisinalitas. Kekhawatiran itu berangkat dari asumsi bahwa AI mengambil alih pengalaman empiris manusia, memutus rantai keaslian antara seniman dan karya. Namun Mantra memutar balik cara pandang ini.
Baginya, AI hanyalah elemen. Sama seperti kuas atau kanvas, AI hanyalah alat yang dapat dipilih untuk digunakan atau ditinggalkan. Bahkan, dalam praktiknya, Mantra melatih AI agar berisi jejak personalnya sendiri. Dengan stable diffusion dan plugin Lora, ia memasukkan arsip cat air yang ia buat selama puluhan tahun, tipografi organik yang ia ciptakan, serta pola visual yang khas dari perjalanannya sebagai seniman.
Dengan cara ini, AI bukanlah entitas asing yang mencuri, melainkan medium baru yang justru memperpanjang tangan empiris seniman. Seperti bumbu dapur yang diwariskan nenek moyang, input personal yang dimasukkan ke AI memastikan bahwa hasil karya tetap menyimpan rasa khas penciptanya. AI tidak menghapus empirik, tetapi memperluasnya ke ranah algoritmik.
*Otentisitas, Kejujuran, dan Seni sebagai Obat*
Dalam diskusi, muncul pertanyaan penting: bagaimana menjaga otentisitas di era ketika karya bisa digandakan atau dipalsukan dengan mudah? Dedy Ahmad Hermansyah menyoroti dilema ini: meskipun akal sehat bisa menerima bahwa AI hanyalah alat, emosi penonton kerap ragu apakah karya AI benar-benar otentik.
Jawaban Mantra lugas: satu-satunya yang tidak bisa ditipu adalah diri sendiri. Otentisitas bukanlah status administratif atau label galeri, melainkan sikap jujur terhadap diri dalam berkarya. Jika karya lahir dari kebutuhan personal, dari luka dan pengalaman riil, maka ia otentik. Bahkan jika suatu hari karya itu dicuri, seniman tetap menjadi pencipta sejati karena dialah yang pernah mengalami dan menghidupi prosesnya.
Mantra juga menekankan bahwa seni pada dasarnya adalah obat. Seniman adalah orang sakit yang menciptakan obatnya sendiri lewat karya. Maka sebelum karya menjadi milik publik, ia terlebih dahulu menjadi terapi personal bagi sang pencipta. Pernyataan ini menegaskan dimensi eksistensial seni: ia lahir bukan karena tuntutan pasar, melainkan sebagai kebutuhan untuk bertahan hidup secara batin.
*Tipografi Organik: Bahasa dari Ketidaksadaran*
Salah satu aspek yang paling eksperimental dari karya Mantra adalah penciptaan huruf-huruf baru, yang ia sebut sebagai tipografi organik. Huruf-huruf ini tidak dimaksudkan sebagai alfabet fungsional, melainkan simbol-simbol enkriptif yang menyimpan memori pribadi. Dalam bahasa lain, huruf-huruf itu adalah ruang penyimpanan ketidaksadaran.