Catatan Agus K Saputra
NusantaraInsight, Ampenan — Pameran Oxygen Poetry karya Mantra Ardhana, yang dilaksanakan di R-play Lombok pada 07-09-2025, menjadi sebuah peristiwa seni yang memadukan kepekaan personal dengan pergulatan kontemporer mengenai teknologi dan identitas. Hal ini mengemuka dalam Diskusi yang dipandu oleh Nuraisah Maulida Andani dan dimoderatori Robian Abel (08/09 lalu).
Judulnya, Oxygen Poetry, seolah menegaskan bahwa seni masih mampu menghadirkan perenungan mendasar tentang hidup, meskipun kita hidup di era algoritma dan kecerdasan buatan. Oksigen, sebagai kata kunci, menuntun kita untuk menyadari bahwa sesuatu yang paling vital sering kali luput dari perhatian. Ia hadir di sekeliling, menopang kehidupan, tetapi tak pernah kasat mata.
Bagi Mantra, oksigen adalah simbol syukur terhadap energi kehidupan yang menghubungkan tubuh, kesadaran, dan kreativitas. Karya-karya dalam pameran ini tidak menampilkan oksigen secara ilustratif atau ilmiah, melainkan menghadirkan “nafas” itu dalam bentuk simbol global, potongan tubuh, huruf organik, dan komposisi visual yang mengundang penonton masuk dalam ruang tafsir.
Dengan cara ini, Oxygen Poetry menghadirkan seni sebagai pengalaman spiritual sekaligus refleksi atas tubuh dan dunia yang kita tempati.
*Seni sebagai Misteri dan Ruang Tafsir*
Salah satu gagasan yang berulang dalam pernyataan Mantra adalah penolakannya untuk memberikan jawaban final mengenai makna karya. Seni, menurutnya, adalah peristiwa misteri. Jika makna dijelaskan secara terang-benderang, penonton kehilangan ruang untuk menafsir, membayangkan, dan berdialog dengan karyanya sendiri. Dalam kerangka ini, pertanggungjawaban seni tidak berada di pundak seniman, melainkan penonton.
Karya-karya Mantra bisa dipandang sebagai puzzle. Ia menghadirkan potongan simbol: tubuh, huruf, garis, warna, hingga fragmen visual yang seolah datang dari masa depan. Potongan-potongan ini kemudian menjadi bahan baku yang harus dirakit oleh penonton sesuai dengan latar pengalaman masing-masing. Di sinilah Oxygen Poetry menghidupkan fungsi reflektif seni. Ia tidak menawarkan jawaban tunggal, melainkan mengundang partisipasi penuh penonton.
Misteri, dalam seni, bukanlah kekurangan. Ia justru inti yang menjaga karya tetap hidup. Sebuah karya yang maknanya sudah “selesai” akan mati pada saat yang sama ketika selesai dijelaskan. Sebaliknya, karya yang misterius membuka kemungkinan dibaca ulang berkali-kali, di tempat dan waktu berbeda, dengan hasil yang selalu baru. Inilah yang membuat karya seni memiliki daya hidup lintas generasi.