Namun pada pada paragraf selanjutnya, Fiam kembali lagi pada posisi ‘aku’ dengan menggunakan “saya”.
“Di Takkalasi, saya tinggal di rumah sesepuh yang disegani, Puang Tobo, Kepala Kampung Lapao di pinggir muara Sungai”.
Pada halaman xv, juga terjadi alih posisi kata ganti empunya, yaitu penggunaan enklitik (/ku/). Misalnya dalam kalimat, ”Masa kanak-kanakku…dstnya”.
Jika boleh saya menyarankan, Fiam perlu konsisten menggunakan gaya “aku” dengan segala perubahan kata ganti itu dalam posisi sebagai ‘empunya” (/ku).
Terlepas dari ‘gangguan’ kecil tersebut, kisah di dalam buku sangat penuh warna. Yang paling menarik, selain berkisah tentang dirinya, Fiam juga selalu penuh perhatian menampilkan nilai-nilai kehidupan leluhur orang Bugis-Makassar yang memang selalu menjadi “passion” dalam tulisan-tulisannya. (M.Dahlan Abubakar).