Perbincangan buku ini menampilkan Anil Hukma, Rusdin Tompo, dan saya sebagai pembincang. Pesertanya, ada Ibu Munasiah “Daeng Jinne” Nadjamuddin, maestro tari Sulawesi Selatan yang tersisa dan sudah lama saya tak jumpai.
Sejumlah penulis dan pemerhati literasi yang malang melintas dalam diskusi buku seperti ini, tidak pernah absen, ada di kegiatan yang dihadiri sekitar 20-an orang itu.
Berbagai keterlibatan Fiam dalam kegiatan yang diikutinya dapat menghasilkan kisah-kisah yang menarik. Misalnya saja, ketika dia memperoleh kesempatan langka mengunjungi pabrik senjata di Tiongkok, tempat yang sangat haram bagi orang asing diperkenankan menyambanginya. Meskipun tidak menyentuh substansi dan laporan pandangan mata kunjungannya, kisah suka duka yang detail hingga memperoleh kesempatan itu, juga menjadi kisah “human interest” bagi pembaca.
Seperti juga yang disinggung rekan Rusdin Tompo, dari sampulnya saja, buku Fiam sudah menggoda. Paling tidak bagi mereka yang hidup di Sulawesi Selatan. Meskipun foto yang terpajang di sampul depan buku itu adalah hasil “kecerdasan buatan” Citra Delfi yang duduk di meja “Desain Cover dan Isi”, namun cukup membuat pembaca seperti saya, terkesima.
Sebelum Fiam mengaku bahwa foto gunung di cover tersebut adalah hasil montase, saya mengapresiasi perpaduan foto di sampul luar depan ini dari sisi semiotika visual. Semua aspek visual di cover ini merepresentasikan makna filosofis dan abstratif yang kuat.
Pada sosok pohon lontar saja sudah merepresentasikan aspek kultural dan literasi orang Bugis-Makassar. Belum lagi yang lain. Tentu saja kita ingat bahwa tradisi literasi lisan Bugis-Makassar begitu kuat berkat adanya “lontarak” yang memanfaatkan daun lontar sebagai medium pengungkapan imajinasi dan gagasan sosial kultural dan historisnya,
Hanya saja ada yang sedikit ‘mengganggu’ pada paragraf halaman xii, Fiam menulis dengan gaya “aku”.
Seperti dalam kalimat,” Saat itu, saya sudah punya ingatan bermukim di perbukitan kampung Latoppo Tajuncu, Soppeng”.
Namun pada paragraf berikutnya (xiii), posisi Fiam sebagai pencerita berubah menjadi orang ketiga (nya) atau pengaruh logat komunikasi lokal Makassar yang kerap menggunakan enklitik (unsur tata bahasa yang tidak berdiri sendiri, selalu bergabung dengan kata yang mendahuluinya, seperti /mu/, /ku/, /nya/). Penggunaan /nya/ sebenarnya merujuk pada kepunyaan orang ketiga tunggal. Namun dalam komunikasi sehari-hari, enklitik /nya/ diselipkan sehingga kalimat itu menjadi tidak baku. Misalnya dalam kalimat “Bukunya dia”. Padahal, yang baku “Bukunya”.
“Dari masa itu hidup/nya/ berpindah-pindah di pegunungan asal leluhur dan Abbolongeng melintas hutan ke Takkalasi Soppeng Riaja Barru”.