Malam Lebaran Bulan di Atas Kuburan

Lebaran
Pawai obor di Desa Kanca Kecamatan Parado Kabupaten Bima pada malam Lebaran (2024) dan terulang lagi, 30 Maret 2025 malam. (Foto: MDA).

Dalam firman Allah swt di dalam Alquran ayat 183 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Ayat ini mewajibkan orang yang beriman, sementara pada ayat 184 dan 185 juga membahas tentang puasa Ramadan.

Ayat 184 menjelaskan tentang keringanan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan (musafir). Sedangkan ayat 185 menjelaskan tentang keutamaan bulan Ramadan sebagai bulan diturunkannya Alquran.

Khusus mengenal Alquran, sebagaimana selalu disampaikan oleh para penceramah pada saat Nuzulul Quran bahwa kitab suci umat Islam itu diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad saw selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Proses turun Alquran dimulai pada malam 17 Ramadan, saat Nabi Muhammad saw sedang menyendiri di Gua Hira. Pada saat itu, beliau menerima wahyu pertama dari Allah swt melalui malaikat Jibril, yang berisi surat Al-Alaq ayat 1-5.

Matra ketiga puisi Sitor Situmorang ini adalah “Di atas Kuburan”. Matra ini menyimbolkan akhirnya sebuah perjalanan. Kuburan adalah perjalanan akhir duniawi seorang manusia dan mengawali perjalanannya menuju alam barzah. Para da’I menyebutkan, tidak tepat menyebutkan bahwa seseorang yang dikuburkan itu identik dengan berada di tempat persemayamannya yang terakhir. Kubur –maaf tak bermaksud menjadi da’i – kata para ustaz adalah tempat persinggahan sebelum Allah menghidupkan kembali manusia untuk menjalani masa ‘pengadilan’ .

BACA JUGA:  Peluncuran Novel 'Ibuku Perempuan Dari Pulau Rote, Bali Penuh Kenangan' Fanny Jonathans Poyk : Memuat Pengalaman Emosional Kisah Nyata dan Refleksi Budaya

Menyebut kuburan, kita tentu akan terkenang dengan keluarga yang mendahului. Oleh sebab itu, baik menjelang Ramadan maupun pasca-Ramadan, umat Islam memiliki tradisi menziarahi kuburan para anggota keluarganya dan berdoa di dekat pusaranya. Sehingga dapat dikatakan, ‘kuburan’ menyimbolkan kesedihan yang kemudian menjadi bagian dari tema puisi ini.

Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa puisi ini dapat dimaknai sebagai refleksi tentang kehidupan dan kematian manusia dari kacamata seorang penyair.

Profil Penyair

Sitor Situmorang lahir di Sumatra Utara 2 Maret 1923 dan meninggal 21 Desember 2014 di Jakarta. Ia menjalani pendidikan sekolah rakyat di tanah kelahirannya Tana Karo, SMP di Pematang Siantar,- Sekolah Menengah Atas (SMA) di Medan, dan – Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Awalnya dia menjadi guru SMA di Medan, kemudian menjadi Redaktur surat kabar “Waspada” di Medan, Redaktur majalah “Sastra” di Jakarta, Anggota Lembaga Bahasa dan Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Karya-karyanya, kumpulan puisi: “Darah Muda” (1949), “Wadjah Tak Bernama” (1950), “Dalam Sajak” (1953), “Puisi-Puisi” (1955). Novel: “Taman Asuhan” (1952), dan Cerita pendek: “Kisah” (1953)