Malam Lebaran Bulan di Atas Kuburan

Lebaran
Pawai obor di Desa Kanca Kecamatan Parado Kabupaten Bima pada malam Lebaran (2024) dan terulang lagi, 30 Maret 2025 malam. (Foto: MDA).

NusantaraInsight, MakassarPuisi Sitor Situmorang yang digubah tahun 1955 ini begitu sangat fenomenal ketika para pengkaji sastra, khususnya puisi, termenung menjelang Lebaran. Puisi ini tidak saja selalu memberikan kesan yang yang antagonistik, tetapi juga imaji simbolisme yang ditangkap Sitor Situmorang sangat ‘dahsyat’, sehingga melahirkan puisi terpendek yang pernah lahir dari kreasi seorang penyair dan sastrawan Indonesia.

Mengingat pendek dan sarat simbolik, puisi Sitor ini selalu menjadi bahan analisis bagi para mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin. Ketika mengajar Kajian Puisi, saya menjadikan puisi ini sebagai bahan tugas para mahasiswa. Tujuannya agar mereka dapat menganalisis diksi per diksi puisi ini. Sebab, puisi ini judulnya menjadi batang tubuh isinya. Mengkaji puisi adalah melatih nalar para mahasiswa menginterpretasi seluruh ikon yang ada di dalam karya puisi. Dan, beruntungnya, ikon di dalam puisi ini terkonsentrasi pada judul yang juga menjadi batang tubuh puisi.

Jika kita analisis terdasarkan frasa atau klausa puisi ini, ada tiga matra yang harus dianalisis, yakni “Malam Lebaran”, “Bulan” “ di Atas Kuburan”. “Malam Lebaran” merupakan simbol kegembiraan. Bagaimana kaum muslimin menyambut Lebaran, 1 Syawal keesokan hari dengan berbagai macam aktivitas. Kegiatan itu merupakan akumulasi kegembiran umat Islam di Indonesia setelah lulus dalam ujian menahan segala yang dapat membatalkan puasa selama bulan Ramadan.
Mereka melaksanakan berbagai aktivitas. Di kampung kelahiran saya, Kanca Kecamatan Parado Kabupaten Bima, setiap malam Lebaran selalu ada pawai obor keliling desa yang diikuti anak-anak sekolah dan juga orang dewasa. Anak-anak bergembira berjalan kaki berkeliling desa dan melantunkan takbir sepanjang jalan. Kadang-kadang diiringi musik yang iramanya padu dengan lantunan takbir dan tahmid dari para peserta pawai obor.

BACA JUGA:  PERGINYA GURU BESAR ILMU BIARIN

Hiruk pikuk suasana malam Lebaran seperti ini ternyata hanya ditemukan di Indonesia. Di Mekkah, Arab Saudi, kita tidak menemukan adanya kelompok masyarakat yang melaksanakan prosesi seperti itu. Pada Ramadan 1996, saya sempat merayakan Idul Fitri di Masjidil Haram. Pada malam hari, saat malam Lebaran, rombongan kami menuju Jeddah (80 km dari Mekkah) untuk jalan-jalan. Di atas bus yang dikemudikan seorang Afrika, anggota rombongan yang berjumlah 20-an orang melantunkan takbir dan tahmid sepanjang perjalanan.

“Bulan” merupakan lambang kesucian dan keindahan. Lambang kesucian Ramadan yang diyakini bahwa selama bulan ini, setan-setan “dirantai” dan “diborgol” supaya tidak menggoda umat Muhammad saw yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Tentu saja yang jauh dari godaan setan ini adalah mereka yang beriman.