Kembali Melapak dan Nobar Film Documentary Keluarga Berkuasa

NusantaraInsight, Bulukumba — Sore, 13 Januari 2025 adalah bukti bahwa kami ada untuk literasi. Buku-buku tergelar dengan alas paling sederhana: kebersamaan. Mereka yang tergabung adalah bukti kesadaran terhadap pentingnya literasi. Mereka tak pernah bertanya tentang siapa dan mengapa, tetapi apakah gerakan ini hanya sampai pada sore menjelang petang atau masih ada sesi selanjutnya di hari esok. Semua tentang kebersamaan atas langkah yang diupayakan untuk merangkul segala rupa.

Sore mengantarkan kami pada pertemuan lapak baca gratis. Bertemu dengan teman-teman kecil yang penuh semangat tebak gambar. Salah satu hal penting yang harus dijaga dan rawat adalah teman-teman kecil. Sebab padanya harapan besar itu kami titipkan demi sedikit berbenah dari manusia copy-paste. Bahkan ada salah satu dari mereka yang bertanya:
Teman kecil: Kak, kenapa ki baru lagi muncul?
Teman kecil: Darimana ki Kak sampai baru lagi kelihatan?
Teman kecil: Apakah ini hari-hari dilakukan Kak?

Akhir-akhir ini kami di Rumah Buku sedang sibuk melakukan pengarsipan melalui zine, sehingga hal itu mengakibatkan kekalahan kami mengatur waktu di lapangan. Kami sadar terhadap kekurangan yang melemahkan gerakan literasi pada desa. Tapi, kita mau bagaimana lagi sebab pengarsipan dari setiap momen yang terus kita upayakan juga menjadi hal penting sebelum META mengambil alih semua dokumen.

BACA JUGA:  Mengenal Lebih Dekat Dua Buku Pariwisata Karya Dr. Dirk Sandarupa, M.Hum.,MCE

Pada sore di bawah rindangnya pohon trotoar kami tergelar dengan ragam keseruan. Kami menyediakan lapak buku, lapak zine, lapak merchandise, lapak kopi, skateboard, dan game fun literacy. Adapun pada saat malam kami mulai menggelar nonton bareng “nobar” film dokumenter tentang Keluarga Berkuasa. Ada banyak respon yang terjadi dalam parade ini. Bahkan kepala Desa Bontonyeleng ikut andil dalam nonton bareng. Beliau seringkali melemparkan keresahan yang terjadi dengan sistem demokrasi kita. Menurut A. Mauragawali, bahwa demokrasi kita sudah hilang arah. Begitu juga politik yang kita gunakan hari ini hanyalah sebuah identitas: dinasti. Kalau masyarakat ingin memboikot setiap pesta demokrasi, maka mereka tidak akan berdiri di atas kakinya sendiri.

Seringkali yang terjadi di tengah masyarakat kita adalah keluhan pasca pesta demokrasi. Simpelnya menurut Opu, bahwa kalau tidak mau pusing jangan pilih. Kenapa kita mau pusing sedangkan ini sudah barang jadi. Jangan sampai kita sibuk mengurusi para calon dan bertengkar dengan mereka yang tidak searah. Bagi kami ruang seperti inilah yang diharapkan pada sore hingga malam, terjadi interaksi yang melibatkan beberapa peristiwa.