@@@
Di pagi buta ini seperti hari-hari sebelumnya, ia kembali duduk santai di serambi rumahnya. Ia benar-benar menikmati pemandangan indah, hamparaan sawah dan segala asesoris kehidupan di atasnya.
Namun kali ini, ia tidak menemukan sosok perempuan yang selalu hadir di hamparan sawah itu.
“Di mana sosok perempuan itu?” Ia membatin.
Dipanggilnya orang kepercayaannya. Lelaki yang juga kurus tetapi cekatan itu selalu setia berada di sampingnya.
“Bagaimana kabar perempuan itu, Landong?”
“Iya. Saya sudah menemuinya. Namanya Sutinah. Janda beranak satu,”jawab Landong.
Mendengar nama Sutinah, ir Donggo tersentak. Ia sangat mengenal nama itu. Nama yang pernah melekat di hatinya ketika masih duduk di bangku SMA. Sosok perempuan cantik dan keibuan itu pernah membuatnya tergila-gila.
“Rumahnya di mana?”
“Ia tinggal di kampung sebelah. Katanya, baru sekitar empat bulan tiba di desa ini.”
“Sudah, tidak salah lagi,” bisik hati Ir Donggo.
Ia tetap ingin memastikan latar kehidupan perempuan itu.
“Memangnya sebelumnya tinggal di mana?”
“Ia merantau ke Kalimantan. Ketika suaminya meninggal, ia kembali ke kampung.”
“Oh, begitu.”
“Iya.”
“Besok pagi, kau panggil perempuan itu datang kemari. Bilang, dipanggil Pak Kades,”
“Siap.”
@@@
Pagi-pagi Sutinah bergegas datang ke rumah sang Kades. Ia ingin memastikan apa dan mengapa dirinya dipanggil. Apalagi ajudan sang Kades, Landong, memberi penekanan: harus datang! Penting!
Sutinah memasuki pekarangan rumah mewah itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia terperanjat ketika melihat lelaki kurus yang tidak asing lagi di matanya menyambutnya dengan senyum khasnya. Senyum yang pernah membuatnya takluk puluhan tahun yang lalu.
“Silahkan duduk,”kata Ir Donggo.
“Terima kasih,” jawab Sutinah dengan suara tertahan. Ia merasa malu, dan sangat malu. Sebab lelaki yang ada di hadapannya kini menjadi orang penting, hebat dan berwibawa di desa ini. Ia sangat dihormati dan disegani. Sedangkan dirinya hanya janda miskin yang tak punya apa-apa.
“Terima kasih, Tina. Engkau berkenan datang di rumah saya.”kata Ir Donggo memulai pembicaraan.
Di matanya, Sutinah masih tampak cantik dan anggun. Tidak banyak perubahan di dalam dirinya. Tetap keibuan dan pemalu. Dulu, Sutinah adalah bunga desa yang diperebutkan banyak jejaka. Dan Donggo berhasil menaklukkan hatinya. Sayangnya, ia berpisah setelah hijrah kuliah di kota. Belakangan hari diketahui, Sutinah sudah dipersunting oleh lelaki pilihan orang tuanya.
“Tina tahu untuk apa saya memanggilnya?”
Sutinah menggeleng. Masih tampak malu-malu.
“Mohon maaf, saya tidak tahu,” jawabnya, masih dengan dada berdebar-debar.
“Saya memanggilnya karena ada sesuatu yang saya mau titip. Sudilah berkenan menerimanya.”
Ir Donggo mengambil sebuah map yang berisi amplop tebal di dalam tasnya.
“Mohon ini diterima,” harapnya sembari menyodorkan map putih berisi amplop tebal itu.
Sutinah merasa keberatan untuk menerima map itu. Apalagi ada amplop tebal di dalamnya.
“Ini halal. Jangan ragu. Terimalah, untuk modal usaha,”harap Ir Donggo.
Sutinah menatap lelaki itu dengan mata batinnya. Benarkah lelaki yang pernah mengisi hidupnya itu ikhlas? Jangan-jangan ada sesuatu di baliknya. Bahasa batin dan pikirannya terus beradu. Tetapi untuk tidak mengecewakannya, ia terima dengan lapang dada.
“Terima kasih,”ucapnya lirih.
Perempuan itu meninggalkan rumah mewah itu dengan rasa campur aduk. Dada berdebar, haru, gembira dan juga cemas. Mungkin pula masih menyimpan sisa-sisa benih cinta di hatinya. Entah!
“Jangan-jangan isi amplop tebal itu adalah lembaran-lembaran haram (untuk tidak mengatakan hasil korupsi),”bisik hatinya. Ia terus membatin sampai tiba di rumahnya.