“Pak, saya bilang, rajin-rajin salat tobat. Karena sesuatu musibah yang menimpa setiap orang, itu disebabkan oleh dosa-dosanya. Jadi Bapak banyak bertobat,” kata istri saya. Suaranya yang nenekan, mirip ceramah ustadz itu, justru membuat dada saya sesak.
“Memangnya dosa apa saya lakukan? Saya tidak pernah korupsi, tidak pernah selingkuh, tidak pernah menyakiti orang lain. Dan saya tidak pernah mengambil hak orang lain.” Begitulah protes di dalam batin saya, setiap istri saya memberi nasihat. Saya benar-benar merasa tidak memiliki kesalahan dan dosa.
“Coba ingat-ingat dosanya, Pak?”kata istri saya, lagi-lagi membuat saya sesak napas.
“Dosa apa! Saya tidak punya dosa!”
“Ah, jangan seperti itu. Kita semua punya dosa. Hanya para Nabi dan Rasul tidak punya dosa.”
Istri saya benar-benar menceramahi saya. Padahal selama ini, sayalah yang sering memberinya nasihat.
Tak ingin berdebat dengan istri, saya mengalah. Diam-diam saya merenung dan merenung. Apa sesungguhnya yang terjadi pada hidung saya.
Anehnya, usai istri menceramahi, bau nusuk dan bau harum bergantian menusuk hidung saya.
“Mungkinkah bau itu datang dari tubuh istri saya?”bisik hati saya seraya terus mencari jawab
@@@
Rupanya, bau busuk dan bau harum itu berasal dari sepotong buto buaya kering yang terselip di dompet. Buto buaya yang panjangnya sekitar lima centi meter itu, saya beli beberapa bulan lalu di penjual obat di pinggir jalan.
Dan saya pun kembali bertobat, karena telah berpikir negatif kepada Haji Bandu. Saya pikir tubuhnya bau busuk karena banyak memakan uang haram ketika menjadi pejabat.
“Astagfirullah.”
Hati saya tetap berbisik pada Tuhan, meminta ampun.
Makassar, 31 Juli 2023.