Salah satu yang perlu dibaca ulang dalam pertunjukan ini adalah bagaimana pejabat-pejabat VOC diperankan oleh aktor. Sudut pandang lokal dalam memposisikan nilai-nilai ideologis sejarah perang, selalu membawa resiko di mana peran yang dimainkan sebagai representasi kehadiran VOC, cenderung menghasilkan stereotip bahwa pejabat maupun tentara VOC diperankan mirip preman-preman pasar. Penampilan mereka yang petantang-petenteng, seolah tidak memiliki etika dalam menghadapi seorang Sultan seperti Hasanuddin.
Performance VOC dalam representasi ini seolah-olah tidak memperlihatkan sisi sejarah yang harus dihormati dalam menghadapi lawan, terutama untuk membawa pihak lawan masuk ke dalam perangkap mereka. Kehadiran VOC di sini diperankan oleh Anjas Wirabuana sebagai Abraham Sterck, dan Zein sebagai De Vires. Peran stereotip seperti ini ikut mengurangi dinamika sejarah sebagai bagian bagaimana struktur pertunjukan menemukan arus dalam segi tiga peran teater realis antara protagonis, antagonis, dan deuteragonis yang batas-batasnya bisa dibuat kabur maupun tegas sebagai dinamika antara ilusi dan nalar. Naskah ditulis oleh Ram Prapanca bersama Faisal Yunus.
Video mapping yang digarap oleh Davidson Johns Carlos dan Reza Destavianto, sering kali kemudian harus berbagi ruang atau saling melengkapi dengan peran tata cahaya yang dilakukan oleh Sukma Sillanan. Sekaligus kadang ikut mengurangi peran artistik yang dilakukan oleh Ishakim, Brewok, dan Satriadi. Ruang artistik pada gilirannya memang terkesan lebih banyak hadir sebagai penopang keberadaan video mapping. Perlu semacam kerja kuratorial (alih-alih peran dramaturg) yang bisa membuat kompleksitas jaringan media dalam pertunjukan ini hadir sebagai lanskap pertunjukan dengan garis perubahan (gerak, ruang, maupun cahaya) bersama rasionalisasi artistiknya.
Peran paduan suara oleh Angelita, kemudian, Bicit, Sizi, Nadindah, dan Arya penting untuk membuat unsur audio pertunjukan membuat kategori suara antara suara alam, suara kebudayaan, dan suara politik.
Suara bahwa “Kita belum kalah” dari Karaeng Galesong terus terdengar bersama suara gendang pakkanjara yang ditabuh kian gemuruh menjelang pertunjukan berakhir. Meja tempat Perjanjian Bongaya ditandatangani, kini menjadi tempat untuk Sultan Hasanuddin masuk ke dalam keheningan yang paling dalam di luar suara gemuruh yang paling luar.
Pertunjukan seolah-olah dibiarkan berakhir dalam tegangan dua ruang ini: antara di luar dan di dalam; antara yang diam dan yang gemuruh.***
Tentang Afrizal Malna