Epik dari Teater Kita Makassar: “Jangan Mengambil Nasi Dari Mulut Orang Lain”

VOC mulai tergoda untuk menguasai Makassar sebagai kota pelabuhan, terutama setelah pelabuhan Malaka diduduki Portugis pada tahun 1511, dan membuat banyak bangsa meninggalkan Malaka dan bermigrasi ke Makassar. Diwakili oleh Cornelis Speelman, VOC ingin menguasai Makassar. M]Menggunakan kota pelabuhan ini sebagai praktik perdagangan monopoli VOC. Terutama monopoli perdagangan rempah. Dan inilah yang ditolak Sultan Hasanuddin yang tetap menjaga Makassar sebagai kota pelabuhan yang terbuka untuk siapapun, tanpa ada monopoli. Apa yang akan dilakukan VOC terhadap Makassar, bagi Sultan Hasanuddin sama dengan “mencuri nasi dari mulut orang lain.”

Pertunjukan teater tari ini dikoreografi oleh Ridwan Aco dan Wahyu Youngdong. Di sini performance sejarah hadir lebih sebagai visual performatif. Tari, antara kelompok perempuan dan lelaki, keduanya berbasis silat lokal dan permainan tombak. Dan musik ditata oleh Arifin Manggau bersama Ahmad Nur. Para penari serta musik memiliki peran penting dalam menciptakan suasana di pelabuhan maupun di pasar, dan sebagai puncaknya dalam adegan perang yang berkecamuk, menjelang Gowa jatuh.

BACA JUGA:  Diminati, Museum keliling di Sanggar Seni Pendopo Aspirasi.

Teks pertunjukan lebih banyak didistribusi melalui peran Sultan Hasanuddin yang diperankan oleh Ferdinan, serta para Karaeng sebagai lingkungan terdekat Sultan Hasanuddin. Karaeng Galesong diperankan oleh Djamal Dilaga, Karaeng Karunrung olah Indra Kirana, Karaeng Bontomarannu oleh Djamal Kalam, Daeng Mangalle oleh Arga Batara, I Fatimah Daeng Takontu oleh Mirza, Syekh Yusuf oleh Wahyu Youngdong, Qadi oleh Chaeruddin Hakim. Sementara Cornelis Speelman diperankan oleh Ishakim.

Sebagian para Karaeng, terutama beranggapan bahwa Sultan Hasanuddin seharusnya tidak menyetujui Perjanjian Bongaya. Karena bagi mereka, “kita belum kalah, perang masih berlangsung”, seperti dinyatakan Karaeng Galesong dalam pertunjukan. Tombak dan badik telah menyatu bersama tubuh untuk perang total. Namun bagi Sultan Hasanuddin, tidak perlu lagi banyak korban yang jatuh dari pihak Gowa, karena teknologi perang yang tidak seimbang.

Pertunjukan yang melibatkan seratus lebih personel ini, termasuk seniman maupun tim produksi, disutradarai Asia Ramli Prapanca bersama Alif Anggara. Dramaturg oleh Bahar Merdhu, Azis Nojeng, dan Aco Muhammad. Tapi apa artinya sejarah Hasanuddin di masakini? Kenapa memilih sejarah Sultan Hasanuddin yang historiografinya terkesan telah definitif sebagai historiografi Makassar?

BACA JUGA:  KOTA TANPA PUISI

Baiklah.

Menghadirkan kembali epos Perang Makassar di masakini, sebenarnya sama dengan mengukuhkan kembali visi Sultan Hasanuddin bahwa Makassar merupakan kota terbuka untuk keberagaman, termasuk kesetaraan hubungan perempuan-lelaki. Perang Makassar terjadi, justru karena Hasanuddin berusaha mempertahankan visi kota yang akan diubah oleh VOC. Di sini kisah Hasanuddin jadi penting untuk membaca sejarah kota sebagai bagian dari tubuh masakini. Penggunaan teknologi dalam pertunjukan, seperti video mapping, ikut memiliki peran penting bagaimana menghadirkan arsip sejarah sebagai tubuh masakini.