Epik dari Teater Kita Makassar: “Jangan Mengambil Nasi Dari Mulut Orang Lain”

Tahun 2000-an, terutama setelah pertunjukan The Eyes of Marege (2007), yang dipentaskan dalam Festival OzAsia di Adelaide Festival Centre, dan di Studio Opera House Sydney, Teater Kita Makassar terkesan kembali menempuh jalan teater epik. The Eyes of Marege sendiri merupakan perpanjangan dari proyek pertunjukan sebelumnya, yaitu The Crocodile Hotel (2003). Pertunjukan yang membuat hubungan historis antara pelaut-peluat Bugis dengan Aborigin yang sudah berlangsung lama. Juga menandai kolaborasi Teater Kita Makassar dengan seniman Australia (Julie Janson dan Sally Sussman). Dan sebelumnya dengan seniman Perancis, Roland Ganamet.

Pertunjukan Sultan Hasanuddin (Ayam Jantan dari Timur), yang berlangsung 26 November 2024, di Kampus Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, kian mempertebal kehadiran Teater Kita Makassar dalam melanjutkan tradisi teater epik di Makassar. Pertunjukan ini, yang merupakan bagian dari program Kementerian Kebudayaan Fasilitasi Bidang Kebudayaan untuk Teater Kepahlawanan 2024, merupakan pertunjukan yang ke 53 Teater Kita Makassar. Sebuah kelompok teater yang usianya sudah memasuki tahun ke 31.

BACA JUGA:  BOLU PECA

Pertunjukan menghadirkan dua realitas visual yang saling melengkapi. Pertama, panggung teater itu sendiri yang menjadi tatapan utama di mana penonton mengikuti pergerakan alur pertunjukan. Dan kedua, merupakan dua bidang datar putih di bagian belakang panggung yang disusun menyerupai tipografi benteng. Bagian kedua ini berfungsi sebagai layar video mapping maupun animasi, di mana representasi sejarah maupun arsip-arsip sejarah di sekitar Perang Makassar antara Kesultanan Gowa (Sultan Hasanuddin) dan VOC didistribusi sebagai arus visual pertunjukan.

Dalam sejarah Makassar, ada tiga kali serangan VOC terhadap Gowa: pertama tahun 1660, kemudian tahun 1667 di mana Sultan Hasanuddin akhirnya terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang merugikan Gowa. Lalu tahun 1669, di mana Sultan Hasanuddin wafat dan Benteng Somba Opu jatuh ke tangan VOC.

Pertunjukan dibuka dalam suasana hening dan mistis. Kemudian mulai terdengar pembacaan sinrilik, yaitu kisah tentang Sultan Hasanuddin dalam bahasa Makassar, dinyanyikan oleh Angelita yang mengenakan busana perempuan Bugis. Pembukaan pertunjukan ini mempertegas performativitas sejarah sebagai sastra lisan, maupun sejarah Perang Makassar yang ditatap dalam sudut pandang perspektif lokal. Dalam babak pertama ini juga diperlihatkan bagaimana Sultan Hasanuddin dibentuk dalam tradisi Islam yang kuat. Di sisi lain tentang kehidupan pasar di pelabuhan, memperlihatkan ragaman budaya di mana Makassar tumbuh sebagai kota pelabuhan yang kosmopolit. Juga berlangsung hubungan setara antara perempuan dan lelaki.