Epik dari Teater Kita Makassar: “Jangan Mengambil Nasi Dari Mulut Orang Lain”

Ikan dalam mulut aktor. Dalam pertunjukan kolaborasi Teater Kita Makassar: “Tragos Of Bagang”, Arts Festival Sanggar Merah Putih, 2013. Foto: dokumentasi Teater Kita Makassar.

Asia Ramli sendiri lahir dan dibesarkan dalam tradisi Bugis pesisir di desa nelayan, Usuku, Buton (Sulawesi Tenggara), bersama warisan sastra lisan yang kaya. Kemudian hidup berpindah-pindah di Banyuwangi, Pasuruan, Ambon, lalu mulai menetap di Makassar ketika mulai kuliah di Universitas Negeri Makassar.

Beberapa pertunjukan awal Teater Kita Makassar, Namaku Batu (1993), Etalase Bulan Sabit 1 (1993), Berdiam Dalam Batu (1994), Di Atas Puing-puing (1994), Namaku Batu II (1995), Nyanyian Kubur (1995), Manusia Dalam Karung (1996), Kavling 2M² (1996), Perempuan di Atas Piring (1996), Mungkin Tentang Kita (1997), BAH (Bah Atas Bah Bawah) (1997), Songka Bala Penghuni Pulau (1998), juga bisa dilihat di mana Teater Kita Makassar mulai mengusung politik identitas yang sangat penting dalam sejarah Bugis maupun Makassar. Material yang banyak digunakan dalam pertunjukan mereka juga khas, lokal seperti bambu, batu, api, daun kelapa, buah kelapa, kain sarung, maupun alat penangkap ikan terbuat dari bambu. Masa di mana Asia Ramli (sebagai sutradara) banyak melakukan kolaborasi dengan Is Hakim, Halilintar Lathief, maupun Malhamang Zamzam.

BACA JUGA:  Ragam Pentas Spektakuler Peserta EBIFF 2025
Pertunjukan Teater Kita Makassar: “Pelayaran Menuju Ibu (Jangan Lupakan Warna Merah)”, dalam Festival Teater Rakyat Indonesia, 7 November 2009, Gedung Teater Cak Durasim, Surabaya. Foto: Dokumentasi Teater Kita Makassar

Iklim eksperimentasi dalam seni pertunjukan ini, mendapat garis tebalnya melalui kehadiran perupa dan seniman performance art (Firman Djamil), kemudian Sanggar Merah Putih bersama Shinta Febriany membentuk Joma (Journal of Moment Art) tahun 2000, dan membawa warna lain dalam sejarah seni pertunjukan di Makassar.

Reformasi, yang oleh Teater Kita Makassar ditandai melalui pertunjukan mereka, Songka Bala Penghuni Pulau, merupakan sebuah titik penting di mana tema Reformasi kemudian menghadapi isu baru dalam memasuki milenium baru dan globalisasi. Entah apa yang terjadi, pada masa ini pertunjukan-pertunjukan berbasis eksperimentasi dalam teater tampak mulai kehilangan suaranya. Tumbuhnya generasi baru, yaitu Gen Z, yang sebagian besar kemampuan, keahlian, dan juga momorinya mulai dilimpahkan kepada aplikasi teknologi digital maupun internet. Mereka menggunaan media sosial sebagai representasi dan distribusi identitas. Proses kreatif berbasis tubuh dan pengalaman mulai bergeser menjadi proses kreatif berbasis teknologi.