Epik dari Teater Kita Makassar: “Jangan Mengambil Nasi Dari Mulut Orang Lain”

Oleh Afrizal Malna

NusantaraInsight, Makassar — Generasi 70-an hingga 90-an merupakan jejak yang mewarnai tumbuhnya teater epik di Makassar. Generasi ini melibatkan kehadiran seniman-seniman teater Makassar seperti Rahman Arge, Aspar Paturusi, A.M. Mochtar, Yudhistira Sukatanya, Yacob Marala, dan Fahmi Syarif. Asia Ramli Prapanca yang menjadi fokus tulisan ini bersama dengan Teater Kita Makassar, merupakan generasi dekade 90-an yang ikut terbentuk dalam iklim ini.

Merupakan periode cukup panjang di mana terjadi kolaborasi intens antara teater dan sejarah. Historiografi Bugis, Makassar, maupun La Galigo merupakan rujukan utama mereka, termasuk Orang Laut (Bajau) maupun pelaut Bugis sebagai representasi budaya maritim yang membentuk sejarah Sulawesi.

Tema sejarah ini pada masanya eksis, karena seolah-olah mampu mengisi kebutuhan hubungan antara teater dan politik pada masa rezim Orde Baru yang otoriter. Dua situs di Makassar, yaitu Benteng Somba Opu dan Benteng Fort Rotterdam, menjadi rujukan utama ruang sejarah sekaligus sebagai ruang pertunjukan bersama dengan gedung kesenian Societeit De Harmonie yang letaknya tidak terlalu jauh dari Benteng Fort Rotterdam. Ruang sejarah ini, yaitu Benteng Fort Rotterdam, Benteng Somba Opu, gedung kesenian Societeit De Harmonie, dan kemudian pantai Losari, ikut membentuk iklim kreativitas seni di Makassar. Masa di mana teater juga ikut memperjuangkan dikembalikan nama kota dari Ujung Pandang menjadi Makassar.

BACA JUGA:  Seminar Sastra Karya Abdul Hadi WM, Dr. Bastian Kupas Pengaruh Sufisme Persia

Ruang sejarah ini kini kian berubah setelah komersialisasi lahan di pantai Losari berlangsung ugal-ugalan. Memutus hubungan langsung antara Benteng Fort Rotterdam dengan laut serta dermaga tua masa Hindia Belanda. Seniman-seniman di Makassar, hingga kini, kehilangan ruang bersama mereka yang tak tergantikan. Ruang di mana sejarah Makassar pernah menopangnya. Dan membentuk ekosistem seni yang mempertemukan ruang kota dengan situs sejarah, alam (pantai Losari), dan aktivitas seni.

Teriakan, permainan silat dan tombak, serta gendang pakkanjara (Genderang Perang Mangkassara) banyak mengisi pertunjukan-pertunjukan teater epik ini. Alih-alih menjadikannya sebagai dapur budaya dimana tradisi Bugis, Makassar (musik maupun tari) mengalami revitalisasi melalui pertunjukan-pertunjukan teater epik ini. Mitos perlawanan pahlawan-pahlawan Gowa di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin yang mempertahankan benteng dari serangan VOC, cukup luas bisa kita dengar dari seniman-seniman teater pada masanya.

Masih berbasis lingkungan kampus IKIP Ujung Pandang (kini Universitas Negeri Makassar), Asia Ramli Prapanca kemudian membentuk Teater Kita Makassar, tahun 1993. Kehadiran mereka membuka belokan baru dalam sejarah teater di Makassar, yaitu mulai menjadikan teater sebagai ruang eksperimentasi berbasis tradisi. Mereka membuat pertemuan unik antara tradisi Bugis maupun Makassar dengan kehidupan urban Makassar.