Diskusi Buku Puisi Untuk Palestina Digelar, Anak K-Apel Protes, ini Sebabnya

Diskusi buku
Diskusi buku Puisi Untuk Palestina

NusantaraInsight, Makassar — Diskusi Buku Puisi dirangkaikan dengan Buka Puasa bersama digelar oleh Ikatan Penulis Muslim Indonesia (IPMI), Perkumpulan Penulis Satupena Sulsel dan Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), Minggu (24/3/2024) di Jalan Dg Jakking Parangtambung Makassar.

Diskusi kali ini mengangkat Buku Puisi Untuk Palestina dengan menghadirkan sejumlah tokoh literasi, penulis, budayawan hingga legislator seperti Rusdin Tompo (Koordinator Kumpulan Penulis Satupena Sulsel), Amir Jaya (Ketua IPMI), H Anwar Nasaruddin, Syahril Rani Patakaki, Syarif Liwang, Rusdi Embas dan Yeni Rahman (legislator PKS).

Pada diskusi buku ini mengundang pembicara antara lain, Dr Syafruddin Muhtamar (Akademisi, Penulis), Anil Hukma (Akademisi, Penyair), Andi Marliah (Kepala SMP Muhammadiyah 3, Penyair) dan dipandu oleh Andi Ruhban (Akademisi).

Mendapat kesempatan pertama Syafruddin Muhtamar atau akrab disapa Dr Shaff menyampaikan bahwa melihat buku Puisi Untuk Palestina tak bisa terlepas dari nuansa ideologi.

“Dan bicara Palestina orang tidak bisa lepas dari sejarah. Di mana Deklarasi Balfour adalah pernyataan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris pada tahun 1917 selama Perang Dunia I, yang mengumumkan dukungannya terhadap pendirian “rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina yang saat itu, merupakan wilayah Utsmaniyah dengan populasi Yahudi minoritas yang kemudian pada tahun 1946 mencaplok Palestina menjadi wilayahnya,” ucapnya.

BACA JUGA:  Nurul Irsan Asrul dan Alarm Krisis Ekologi Lewat Kriya Pirografi

Ia juga menjelaskan bahwa sastra sebagai media ungkap, dengan bahasa yang ‘berseni’, mengandung peluang menjadi media ungkap ideologis. Bahwa, ungkapan yang ‘berseni’ itu, bersumber dari ragam realitas, dimana sang sastrawan mengambil sumber inspirasi, baik dari kenyataan yang dialami sendiri ataupun diluar pengalaman pribadinya.

“Jadi buku ini adalah media ungkap ideologis dari para penulisnya,” kuncinya.

Sementara itu, Anil Hukma selaku pembicara kedua menyampaikan Buku Puisi Untuk Palestina ini adalah kata sebagai energi.

“Jika tadi disebutkan bahwa ideologis sastra, saya menyebutnya sosiologi sastra,” ungkap Anil.

Ia juga sangat mengapresiasi tempat diadakannya diskusi buku yang berada di dalam lorong.

“Peduli dengan literasi di lorong seperti ini. Sastra itu tidak ada jarak, di mana tempat-tempat seperti inilah literasi membumi, bukan di hotel-hotel ataupun di gedung-gedung pertunjukan,” kata Anil.

Ia juga merasa heran jika sampai saat ini masih ada negara yang tidak merdeka.

“Sangat absurd jika saat masih ada negara yang tidak merdeka,” tegasnya.