Pasukan antara lain Silat Dika, Iccang, Pian, Alif, Anti, Sifa, Naila, Nafisah. Pa’Raga dimainkan oleh Aci, M. Hikmal, Rahmat, Kamal, Arifin.
Menurut sutradara Asia Ramli, pertunjukan teater “Sultan Hasanuddin (Ayam Jantan dari Timur)” melalui riset dari berbagai sumber. Digarap di atas panggung melalui tiga babak dan masing-masing babak terdiri dari beberapa adegan. Penanda babak dan adegan ditandai oleh video mapping animasi, musik dan lighting.
Pada babak pertama menampilkan narator semacam sinrilik/ma’sure melalui nyanyian yang mengisahkan sejarah singkat atau semacam sinopsis perjuangan Sultan Hasanuddin melawan kezaliman VOC.
Narasi ini diawali oleh kisah kelahiran Sultan Hasanuddin yang lahir di Gowa pada 12 Januari 1631. Dia lahir dari pasangan Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-XV, dengan I Sabbe Lokmo Daeng Takuntu.
Sultan Hasanuddin memerintah Kesultanan Gowa mulai tahun 1653 sampai 1669. Sejak kecil jiwa kepemimpinan Sultan Hasanuddin sudah menonjol.
Di masa kecil, ia mendapat pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala. Ia rajin melakukan latihan ketangkasan seperti sepak raga, pencak silat, permainan tombak.
Ia sering diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting dengan harapan ia bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang. Karena itulah, selain dikenal sebagai sosok yang cerdas, ia juga pandai berdagang dan ahli strategi perang sehingga disegani.
Saat memasuki usia 21 tahun, ia diamanatkan jabatan urusan pertahanan Gowa. Karena keberaniannya, ia dijuluki ”De Haantjes van Het Osten” oleh Belanda yang artinya ”Ayam Jantan dari Timur”.
Sultan Hasanuddin tak henti berjuang melawan tipu muslihat VOC yang penuh siasat dan adu domba untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah. Segala keinginan angkara murka VOC ditolaknya. Karena penolakan itu, VOC yang dipimpin Cornelis Speelman memaklumkan perang kepada Gowa. Maka pada tahun 1660, VOC menyerang Gowa, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Tahun 1667, VOC kembali menyerang Gowa.
Pertempuran berlangsung di mana-mana, hingga pada akhirnya Kesultanan Gowa terdesak dan makin lemah, sehingga dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya, sebagian besar panglima kerajaan Gowa secara terang-terangan mengajukan protesnya kepada Sultan Hasanuddin. Gowa yang merasa dirugikan, mengadakan perlawanan lagi.
Pertempuran kembali pecah pada tahun 1669 yang dikenal sebagai Perang Makassar. VOC Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 24 Juni 1669.