Dende Tamari: Tragedi Yunani dalam Nafas Perempuan Lombok

NusantaraInsight, Mataram — Bengkel Aktor Mataram (BAM) kembali meneguhkan eksistensinya di dunia teater Indonesia melalui pementasan ke-63 yang akan digelar pada 25 Oktober 2025 pukul 20.00 Wita di Gedung Tertutup Taman Budaya NTB.

Di bawah arahan sutradara Kongso Sukoco, BAM menghadirkan lakon terbaru berjudul Dende Tamari, sebuah adaptasi dan tafsir lokal atas tragedi Yunani klasik Antigone karya Sophocles.

Bagi Kongso, teater selalu lebih dari sekadar tontonan; ia adalah ruang perenungan dan perlawanan. “Teater adalah tempat manusia bercermin kepada dirinya sendiri, mendengar suara zaman, dan meneguhkan keberpihakan pada kemanusiaan,” ujarnya.

Dari keyakinan itulah, Dende Tamari lahir — bukan sebagai salinan, tetapi sebagai penanaman ulang kisah klasik di tanah Lombok, agar tumbuh dengan akar dan bunga lokal yang kuat.

Dalam versi Sophocles, Antigone dikenal sebagai perempuan muda yang menentang kekuasaan Raja Kreon demi memberi pemakaman layak bagi saudaranya. Bagi Kongso, semangat keberanian itu masih hidup hingga kini.

“Saya memilih kisah ini bukan karena keagungan masa lalunya semata, tetapi karena denyut nadinya masih terasa hingga hari ini,” tuturnya.

BACA JUGA:  MERAJUT PESAN MAPPALETE BOLA

Dalam tafsir BAM, Antigone menjelma menjadi Dende Tamari, seorang perempuan Lombok yang menolak tunduk pada penguasa lalim.

Ia menjadi lambang perempuan Nusantara yang berani berkata “tidak” pada kekuasaan yang menindas, demi menegakkan hukum moral dan nilai kemanusiaan.

Mengapa perempuan? “Karena dari perempuanlah kita belajar kesetiaan, keberanian, dan kemanusiaan,” kata Kongso.

Dalam masyarakat yang masih sering menyingkirkan suara perempuan, Dende Tamari tampil sebagai simbol keberanian mereka untuk menjaga martabat dan nilai-nilai hidup.

Estetika pertunjukan ini dirancang untuk mengakar kuat pada tradisi Lombok:
– Tembang dan nyanyian tradisi menjadi jantung pertunjukan, bukan sekadar latar bunyi, tetapi doa dan jeritan yang mengikat penonton pada akar leluhur.
– Kostum lokal menampilkan kain-kain tradisional sebagai bahasa visual yang merekam kisah, warna, dan makna — sebuah simbol keanggunan sekaligus perlawanan.
– Bahasa tubuh dan gestur aktor berpijak pada keseharian masyarakat Lombok, membentuk gaya pergerakan yang jujur, liris, dan berakar.

Dengan demikian, Dende Tamari tidak hanya menerjemahkan Antigone ke dalam bahasa Indonesia, tetapi juga mentransformasikannya menjadi tragedi Nusantara, di mana setiap elemen panggung menjadi cermin dari kebudayaan lokal.

BACA JUGA:  Penyair Malaysia dan Singapura Ikut Baca Puisi Peluncuran Buku Antologi Puisi 'Ibu, Aku Anakmu'

Namun, di balik keindahan artistiknya, Dende Tamari juga membawa pesan sosial yang tajam. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan yang menabrak hukum moral akan selalu berujung pada kehancuran.

br
br