Lala dalam karya-karyanya berbicara tentang waktu dan pengalaman—tentang hari-hari yang dilalui dengan segala ketidakpastian dan rasa yang sulit diterjemahkan. Kaisar, salah satu dari kami, menyelutuk: “Apa gunanya Cicilan Huruf jika tak ada Tagihan Kata? Apa gunanya makanan jika tak ada rasa? Apa gunanya luka jika tak dikunyah?” Pernyataan ini mencerminkan pencarian makna yang terus berlangsung, meskipun dalam bentuk yang sederhana. Seringkali, makna tersebut tidak bisa ditemukan dengan mudah, ia harus dikunyah, dipahami dengan sabar.
Sementara diskusi berlangsung, Raya Vandahoo, seorang musisi yang juga memiliki kecintaan terhadap seni rupa, melukis bunga matahari dengan warna yang mengisyaratkan tenggelamnya mentari. Karya itu berbicara lebih banyak dari sekadar gambar. Seperti kami, yang duduk menanti kata-kata untuk berpulang dalam kalimat, dan kalimat-kalimat itu kembali pada ruang batin kami, membawa kami lebih dekat pada pemahaman diri. “Sebenarnya gambar ini tuh mengangkat tentang kesedihan. Di mana pada satu waktu saya mengalami bimbang dan tak tahu mau ngapain. Salah satu cara melampiaskan kebimbangan itu pada kanvas, maka lahirlah karya ini: Mencari Koin.” Ucap Raya penuh senyum.
Bagi Raya, seni adalah cermin yang jujur. Seni mengungkapkan warna-warna yang tersembunyi dalam jiwa, memberikan kita kesempatan untuk memandang diri sendiri dengan cara yang baru. Dalam pandangannya, “Selama kita mencintai seni, hidup tidak akan pernah kehilangan warna.” Kalimatnya, yang diucapkan lirih, mengandung pertanyaan yang menggantung di langit senja yang semakin memudar cahaya. Apakah seni, dalam bentuknya yang paling hakiki, dapat memberikan kita pemahaman tentang eksistensi dan realitas yang semakin kabur?
Merasakan pengalaman dan merengkuh lukisan adalah sebuah perjalanan yang mendalam, sebuah usaha untuk memahami diri di balik lapisan-lapisan waktu yang telah menempel pada kita. Setiap goresan adalah langkah yang menuntun kita untuk mendekati pemahaman tentang diri yang telah terkubur dalam kenangan. Setiap kata yang terucap adalah jejak yang membawa kita semakin dekat pada pengertian yang tidak pernah selesai. Seperti pelangi yang melengkung di langit yang tak terhingga, kehidupan ini memberi warna pada setiap inci perjalanan kita. Inilah yang dihadirkan oleh Cicilan Huruf #5: sebuah spektrum warna yang membentang, mengundang kita untuk merasakannya meski keindahan yang ditawarkan tidak dapat sepenuhnya diungkapkan dengan kata-kata.
Semoga, Cicilan Huruf ini bukan hanya menjadi sebuah pertemuan, tetapi juga sebuah usaha untuk saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita tentang makna, kehidupan, dan seni. Tutup Sakkir penuh kehati-hatian, menyelipkan kenangan ke dalam lipatan waktu, sembari beristirahat untuk berpisah dengan malam yang tak pernah benar-benar pergi.