NusantaraInsight, Kediri — Pada hari Jumat, 11 Juli 2025, kami mengadakan sebuah pertemuan yang penuh makna, sebuah kegiatan yang seolah berupaya menyelami kedalaman waktu.
Di antara huruf-huruf yang kami kumpulkan dari perjalanan Cicilan Huruf yang telah lalu, kami menyusun kisah, berharap ia tetap mengalir dan memberi warna, bagaikan tarikan kuas yang secara hati-hati menyentuh kanvas: lembut namun tetap mengakar kuat. Dalam pengertian ini, huruf bukan hanya simbol semata, melainkan medium untuk merepresentasikan pengalaman yang terus berlanjut.
Sekitar pukul empat lewat tiga puluh sore itu, kami mulai berkumpul, di tengah-tengah hiruk-pikuk keramaian yang menyambut datangnya senja. Tempatnya tetap sama: DR. KOPI, sebuah kedai kopi jalanan yang memiliki filosofi lebih dari sekadar tempat untuk menikmati minuman.
Di sini, kopi menjadi simbol makna yang lebih dalam—mungkin juga sebuah jalan pulang yang tidak selalu tampak jelas arah dan tujuannya.
Bung Ipin, seorang sahabat dari Lombok yang memiliki kedekatan emosional dengan aroma robusta dan arabika, mengungkapkan pandangannya dengan senyum yang tertahan dan kata-kata yang terbungkus dalam sarkasme yang manis: “Tanpa kopi, hidup ini hanyalah serpihan yang terhempas angin. Kopi mengajarkan kita untuk mengetahui batas antara manis dan pahit, antara gula dan susu, serta hitam yang, meskipun pahit, justru layak dirayakan.” Ucap Ipin.
Dalam perayaan Bulan Zine Internasional kali ini, kami tidak memerlukan kursi, meja, atau baliho megah untuk menyatakan eksistensi kami. Yang kami butuhkan hanyalah huruf-huruf yang berserakan, dan rerumputan Pasar Senja_Lapangan Tulungrejo yang mampu menampung cerita-cerita yang belum selesai. Di tempat itu, kami menyeduh cerita dalam satu warna: hitam—seperti kopi—yang tak pernah lelah mengalir menjadi teman bicara dalam setiap pertemuan, di tengah zaman yang kian terperangkap dalam jaring kapitalisme. DR. KOPI, dalam keberadaannya yang sederhana, mengalirkan cerita melalui secangkir kopi, membawa kita lebih dekat pada inti kehidupan yang sesungguhnya.
Pada kesempatan kali ini, Cicilan Huruf #5 membawa kami pada sebuah ikon penting: melukis pertemuan itu sendiri. Kami mendiskusikan zine karya Lala Bohang, seorang penulis yang menulis dengan perspektif arsitektur, sebuah disiplin ilmu yang sangat mementingkan struktur dan ruang. Tulisannya mengundang kami untuk menggali lebih dalam, menulis kembali segala luka dan rasa yang tersembunyi dalam ruang batin kami. Salah satu karya Lala, berjudul Susah Payah Mati di Dalam_Hari Susah Payah Hidup di Siang Hari, menjadi sebuah metafora yang kami konsumsi dengan penuh kesadaran. Sebuah teks yang merangkum kompleksitas hidup dalam kontradiksinya yang paling tajam.