Catatan Sastra: Kearifan Lokal di Tengah Arus Perubahan

Contoh lainnya adalah foto Majestic setelah dibuat puisi dibaca oleh Hurri Nugroho dan dimusikalisasi oleh Ary Juliyant. Begitu pula karya lukis Mantra berjudul Secret Garden (karya lukis Mantra Ardhana) setelah dibuat puisi dibaca oleh Sri Latifa dan dimusikalisasi oleh Ary Juliyant.

Ketiga, dari kumpulan syair atau kata-kata bisa melahirkan bunyi. Hal ini dicetuskan oleh Ary Juliyant –pegiat musik balada dengan konsep “gerilya”– sebelum “mengartikulasi” puisi “Majestik” (karya foto Agus K Saputra) dan puisi Secret Garden (karya lukis Mantra Ardhana).

Ary Juliyant juga menyinggung soal soundscape, sebuah istilah yang dikembangkan Scafer. Yaitu sebuah komposisi yang digarap dengan media konvensional dengan ide-ide musikal yang didasari pada pemandangan suara di satu lingkungan tertentu, baik yang alami maupun urban.

Menariknya, musik yang berasal dari “bunyi-bunyi” ini merambah kepersoalan “penyembuhan” dari “kepenatan hidup”. Yaitu apa yang kinal kenal sekarang sebagai healing. Secara psikologis hal ini bermakna proses untuk menyembuhkan mental dan membuat diri sendiri merasa nyaman dan tenang.

BACA JUGA:  Ishakim : Syahriar Tato, Lelaki Bugis yang Menangis

Keempat, kecerdasan buatan (artificial intelligence) versus orisinilitas karya. Hal ini disampaikan oleh Akademisi Universitas Mataram, DR. Agus Purbathin Hadi. Sebagaimana diketahui bahwa kecerdasan buatan bertujuan meniru aktivitas kognitif manusia, seperti belajar, penalaran, pengambilan keputusan, dan koreksi diri. Hasilnya, perangkat yang menggunakan kecerdasan buatan dapat melakukan –salah satunya—apa yang disebut acting humanly, yaitu sistem yang dapat bertindak seperti manusia.

Bagaimana jika “dibenturkan” dengan orisinilitas karya? Butuh waktu untuk membuktikan, karena orisinilitas karya saat ini menjadi abu-abu jika dikaitkan dengan daya pengaruh dari luar yang menghasilkan karya. Memungkinkan adanya aplikasi untuk mendeteksi “keaslian” karya tersebut. Dan ini sesungguhnya bisa dijembatani di antara mereka atau para pelaku kreativitas untuk menakar dan menetapkan batasan angka atau kategori yang menjurus sebagai plagiasi. Tapi yang tak kalah penting dalam hal ini adalah soal etika.

Kelima, panggung kearifan lokal. Tampak begitu kuat dalam puisi The Last Pepadu (karya Lalu Syaukani yang menvisualkan olah raga rakyat yang sangat populer di Lombok yaitu Peresean), puisi Yellow Princess (karya lukis Lalu Syaukani yang menceritakan peristiwa legenda Putri “Nyale” Mandalika), puisi Sampela Rimpu (karya lukis S La Radek yang mengandung arti penutup kepala wanita muslimah dengan menggunakan sarung yang ada di Bima dan Dompu), puisi Pemburu Donggo (lukisan karya S La Radek yang mengisahkan “ritual” permohonan hujan di Donggo – Dompu), puisi The Warriors (karya lukis Mantra Ardhana dibacakan oleh Azhar Zaini yang menokohkan patriot yang “ditikam” bangsanya sendiri) dan Gempa Lombok: Ingatan Melawan Lupa (karya lukis Zaeni Mohammad yang “melukis” spirit masyarakat saat bersatu padu “melewati” dampak gempa).