Kedua, proses dialektika. Bagi Prof Abdul Wahid pertemuan ini adalah sebuah pertemuan besar dari proses dialektika dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, tidak percaya kepada penyair, ketika menyaksikan proses musikalisasi puisi Secret Garden (karya lukis Mantra Ardhana) oleh Ary Julyant. Karena ternyata, dibalik kerendah hatian, dibalik tawadhu, dibalik ketidak inginan untuk disingkap, ternyata ada sesuatu yang besar.
Kedua, menarik sekali proses kreasi dari puisi-puisi ini, maka Prof. Abdul Wahid menjadi percaya. Bahwa dalam kajian kebudayaan ada adagium yang menyatakan penyair itu mati. Pelukis itu mati. Pembuat novel itu mati. Yang membuat ia hidup kembali adalah orang yang membacanya.
“Saya kira, penyair Agus adalah pembaca ulung penuh kreativitas. Yang kemudian membuat karya-karya –yang oleh orang awam– menjadi begitu lebih berbicara. Dan apa yang dibicarakan itu besar sekali. Inilah Ruh,” kata Aba Du Wahid, nama medsos Prof. Abdul Wahid di facebook.
Pada titik ini, Prof Abdul Wahid seolah diingatkan oleh pembicara sebelumnya, Majas Pribadi (Syawalan dan Berkesenian) yang mengutif Surat An-Naba ayat 38: “Yauma yaqumur-ruhu walmala ikatu saffal la yatakallahuma illa man azina lahur-rahmanu wa qala sawaba”
[13/5 21.18] Rusdin Tompo: Kira-kira lukisan seperti itu. Yauma yaqumur-ruhu. Hari ini kita berhadapan dengan lukisan, seakan-akan kita dibentangkan sebuah ruh. Ruh itu semangat. Ruh itu keabadian. Walmala ikatu: yang penuh sayap. Yang penuh sayap itu kalau kita lihat akan menghasilkan sebuah inspirasi baru. Pengetahuan baru. Inilah bagaimana malaikat menjadi personifikasi dari sayap-sayap kebenaran. Bershaf-shaf. Berjejer. Karya itu selalu lahir, lahir kembali, ditransformasikan kembali seperti diungkap Kongso Sukoco.
La yatakallamuna illa man azina lahur-rahmanu wa qala sawaha. Tidak berbicara apa-apa itu karya kecuali dijinkan oleh Allah. Diijinkan oleh Tuhannya. Dan kalau berbicara maka yang dibicarakan yang keluar dari situ adalah kebenaran.
“Begitulah bacaan saya dari buku Pertemuan Kecil ini. Apa yang dilihatnya dalam karya-karya seni rupa, lukisan dan lain-lain. Ini adalah contoh bagaimana pengarang, penulis atau pelukis itu dihidupkan lagi oleh orang lain. Pola ini atau cara seperti inilah yang disebut dialektika. Dialektika adalah penyambung peradaban. Peradaban akan mati. Kebenaran akan mati. Jika tidak ada pembacaan-pembacaan dialektis seperti yang dilakukan Agus K Saputra, “ tandas Prof Abdul Wahid, Guru Besar UIN Mataram.
Contoh proses dialektika malam itu adalah saat pementasan “olah gerak” yang dilakukan oleh Zaeni Mohammad. Olah gerak berjudul Gempa Lombok: Ingatan Melawan Lupa (karya lukis Zaeni Mohammad) mengalami proses “pembacaan” sebanyak tiga kali, yaitu (berawal dari lukisan) menjadi puisi, musikalisasi puisi (oleh Soni Hendrawan) dan terakhir olah gerak.