Melihat Gaffar tidak berdaya, I Coa’, Nurdin dan I Bora bukannya menolong, malah mengambil langkah seribu, lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Malah I Coa’ sampai mengencingi celananya akibat jera melawan Malik.
“Maaf, sebagai laki-laki Gaffar, kumohon berpikir dulu sebelum melakukan kekerasan. Pertimbangkan dengan bijak sebelum menindas seseorang dengan tuduhan yang begitu rendah, ukur kekuatan sebelum menyerang orang, Nah, dik Gaffar, Jangan diulangi lagi tindakan dan lagi sifat burukmu itu!” nasehat Malik tanpa kesombongan.
Snapshot klimaks berikut halaman 61:
Tata’ Gassing bukannya paham, malah marahnya tak mereda.
“Huuh!… rumah susun, rumah susun apa! Siapa tahu kalian hanya sedang menyusun- nyusun siasat saja untuk merayu anak gadis orang-orang di kampung ini. Kalian diam- diam mungkin sedang merencanakan siasat busuk untuk menguasai tanah kampung ini, untuk kemudian kalian jual pada investor. Jangan pikir kami ini bodoh!”
Insinyur Farid yang bingung melihat perkembangan kejadian yang tiba-tiba itu langsung bertanya.
“Maksud Tata’ Gassing bagaimana….?” Tanyanya ingin tahu.
Tata’ Gassing yang merasa menguasai forum, kian bersemangat lagi.
“Ini ulah Si Malik yang sok jagoan bicara, jagoan berkata-kata. Ternyata benar dugaan si Nurdin dan Si Gaffar, bahwa ada udang di balik batu, ada keinginannya yang ter- sembunyi. Perhatikan saja, dia kini coba merayu anak saya si Maryam untuk me- muluskan wujud rencananya itu. Dia tugasi anak saya untuk meluluhkan hati saya agar merelakan tanah yang kumiliki. Ini sungguh siasat gila.”
Malik langsung kaget mendengar rangkaian tuduhan keji seperti itu. Suatu hal yang tidak pernah diduganya sama sekali. Ia jadi kecewa, tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Ia tidak ingin rencananya gagal karena salah pengertian.
“Sekali lagi, maaf. Tidak ada niat kami bertindak memalukan dengan cara-cara siasat busuk demikian Tata’. Sejak awal sudah kunyatakan pada semua orang, Maryam kuanggap adalah adikku, kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Tidak lebih dari itu.”
Malik memandang ke segenap arah dalam ruangan itu dengan pasrah.
“Sungguh, Haniah adik dari saudara Gaffar pun sangat tahu. Aku sudah menceriterakan panjang lebar kepadanya, bagimana aku senasib dengan keduanya, sama-sama ke- hilangan kedua orang tua. Bahkan aku kehilangan adik yang sebaya Maryam. Nah, salahkan aku? kalau itu juga salah, maka dengan tulus aku mohon maaf,” Kata Malik dengan perasaan sedih.
Hadirin dalam ruang, tercekam dalam perasaan simpati yang dalam pada Malik, jelas dalam tatapan mata mereka, tak satu pun yang menyangsikan penjelasannya. Mereka tahu ketulusan hati mahasiswa KKN yang sudah beberapa lama di kampung itu.