Nurdin memang selalu mengambil hati Gaffar, karena ia mengaku-aku adalah calon iparnya. Tanpa dukungan Gaffar, memang sangat sulit ia mendapatkan Haniah adik Gaffar yang menjadi impian dan dambaan hatinya.
“Ayo kita ke sana,” ajak Gaffar.
“Hajar saja, Daeng. Pukul dulu baru tanya,” hasut I Coa’
Ketiganya pun pergi dengan langkah bergegas.
Mari bergeser lagi ke snapshot krisis menuju puncak krisis berikut halaman 46-48 :
Maryam tak lepas menatapi mata Malik “Tapi tahap demi tahap rencana sudah terwujud dan telah dirasakan manfaatnya, yakinlah cita-cita Kak Malik dan kawan-kawan yang luhur akan terwujud jadi kenyataan. Setelah Kak Malik nanti pergi, insya Allah kami akan meneruskannya.”
Malik menghela nafas berat sambil menerawang jauh. Cukup banyak persoalan masih membalut pikirannya. Apa yang sudah dilakukannya dalam masa KKN, belumlah nampak benar hasilnya bagi perkampungan Rumbia.
Penanggulangan banjir di kampung Rumbia itu, barulah tahap awal penataan dari konsep lingkungan yang menyeluruh. Malik masih mengharapkan di kampung itu dapat dibangun rumah susun, dan proposalnya sudah diajukannya melalui insinyur Farid. Kalau itu bisa terwujud, barulah ia lega, karena sudah melakukan perbaikan dengan memadai.
Lingkungan yang kumuh, cara-cara hidup yang tidak sehat, adalah gulita persoalan yang harus dia lepaskan. Untuk itu memang butuh waktu, dan waktu inilah yang kian mendekati akhirnya.
Sementara Malik dalam lantun lamunannya, diantara rimbunan dedaunan pohon, terlihat, Nurdin, I Coa’ dan I Bora mengintip dan berusaha ikut mendengar percakapan antara Maryam dan Malik.
Gaffar mengambil posisi agak jauh dan tidak dapat kelihatan dari posisi Maryam. Ia berusaha menahan amarah yang terus membakar hatinya. Kepalanya terasa berat dan matanya terasa pedas.
Malik dan Maryam tenang-tenang saja, tidak menyadari ancaman yang sedang mengintai mereka.
“Kampung ini punya arti kenangan tersendiri dalam perjalanan hidupku yang begitu panjang dan melelahkan. Aku jadi ingat kampung halamanku sendiri. Dulu, saban tahun kampung pun dilanda banjir yang selalu memakan korban. Tidak saja harta yang musnah, tapi juga korban jiwa. Ibuku dan ayahku telah ikut menjadi korban buruknya lingkungan hidup itu. Beliau terserang penyakit muntaber yang berjangkit,” keluh Malik melankolis.
Maryam ikut menitikkan air mata. Ada rasa haru yang mendalam di lubuk hatinya. Ia pun kehilangan ibunya pada musim banjir yang lalu. Wabah muntaber yang ganas telah merenggut jiwanya beserta beberapa warga lainnya.
Melihat Maryam menangis, macam-macam penafsiran yang timbul dalam pikiran ketiga sahabat si Gaffar. Mereka diam-diam memberi isyarat pada Gaffar apa yang tengah terjadi dengan dua remaja itu.