“Sa’diah ini terbilang masih punya hubungan keluarga dengan saya. Ternyata dia penulis dan sastrawan. Meski dia pengasuh pondok pesantren, tapi hobinya mendaki gunung,” terang Ajiep Padindang.
Seketika saya teringat buku “Kenapa Allah Ngga Kelihatan, Ma?” Lantas saya bergeser dari tempat saya semula. Perlahan saya mendekat ke depan. Begitu selesai penyerahan piagam penghargaan kepada para penampil dan pembicara, saya pun menyapa Sa’diah.
“Saya kira kita sudah lupa. Tadi pagi saya mau sapa ki, tapi saya ragu, jangan-,jangan kita lupa tentang buku saya,” kata Sa’diah di awal obrolan kami.
Saya bilang, nda mungkinlah dilupa. Karena bukunya punya cerita tersendiri. Saya katakan, bahkan dalam banyak kesempatan, bukunya itu saya jadikan contoh, bagaimana seorang ibu menuliskan kisah sehari-hari yang merupakan pengalamannya bersama anaknya.
Malam itu, Sa’diah ditemani anak keduanya, Fiyyaz Muhammad Said, dan seorang santrinya. Kami ngobrol layaknya sahabat lama. Kami banyak bertukar pengalaman seputar kepenulisan. Kepada saya disampaikan bahwa dia akan menulis buku dengan tema yang unik, berdasarkan pengalamannya. (*)