*Anatomy of Descent series*
Karya-karya ini dapat dibaca sebagai gambaran tentang siklus keterperangkapan, baik secara eksistensial maupun psikologis. Para figur telanjang menyimbolkan kerentanan manusia saat dihadapkan pada lubang tak berujung—yang bisa ditafsir sebagai trauma, sistem sosial, atau realitas yang menelan. Tidak ada figur yang benar-benar berdiri tegak atau bebas—semuanya terseret dalam medan gravitasi metaforis yang kuat.
Bentuk bundar, pola melingkar juga bisa dibaca sebagai simbol waktu (jam), lubang rahim, pusaran, atau bahkan planet—membuka banyak kemungkinan tafsir.
*Anatomi Kehilangan*
Dalam karya instalasi ini, logam, kayu yang menghitam, dan meteran pengukur berpadu dalam satu tubuh yang nyaris tak berakar. Bukan sebuah pohon, bukan pula mesin; benda ini berdiri sebagai fragmen zaman—relik dunia nyata yang terus menjauh dari asalnya.
Pohon, simbol kehidupan, dalam karya ini tampil dalam keadaan terpotong, mati, membatu. Dihuni oleh besi-besi beton yang menjulur tak beraturan, seolah menggantikan dahan-dahan yang dulu hidup.
Meteran merah menggantung dan melilit, seakan berusaha mengukur sesuatu yang tak lagi bisa diukur: kerusakan, kehilangan, atau nilai dari sesuatu yang telah dirampas.
Dan di dalamnya—mata cangkul yang kehilangan tanahnya. Sebuah lambang yang sangat jelas: alat kerja yang kehilangan fungsi karena tanah sudah tidak tersedia, atau lebih tepatnya, telah direbut.
Instalasi ini adalah refleksi tajam terhadap:
– Krisis ekologi
– Kehilangan lahan dan ruang hidup
– Transformasi fungsi alam dan ruang hidup
– Dekolonisasi ruang dan tubuh tanah
Dalam konteks pameran Art of Rupture, karya ini adalah bentuk keretakan paling nyata—tidak simbolik, tetapi konkret. Kita menyaksikan dunia yang telah membalik: pohon jadi beton, tanah jadi komoditas, dan alat jadi peninggalan. Sebuah dunia yang mengasingkan akarnya sendiri.
#Akuair-Ampenan, 18-07-2025