Amir Jaya Mengaji Ombak Tanadoang di Pantai Biru Makassar

Mengaji Ombak Tanadoang
Launching Buku Mengaji Ombak Tanadoang

Aku mengajinya
Dari setiap hempasan
Tak ada yang sia-sia
Tasbihnya sungguh menggetarkan Langit di dadaku

Lokus tanah doang lalu bukan saja sekedar makna geografis-primordial dan visual tetapi maknanya berubah meninggi dan memuncak sekaligus secara imanen, bahkan splendid ke arah divinitas, ke arah kesucian.

/Tanah doang ibuku….
dia adalah tasbih/katapenyair.
Bukan saja semangat ada di sana, bahkan lebih dari itu, dia adalah ethos, pathos yang membangun semesta jiwa raga.

Di sukmaku
Hanya ada namamu
Terukir indah dan memesona Bagai kristal-kristal

Memantul dari istana bulqis
……..
Ayat demi ayat terhamparluas
Menjadi titik…

Demikian pula pada puisi berikut:
Penyair tidak ragu untuk melakukan proses metamorfosis kata-kata ketika entitas gemuruh dan hempasan ombak dianggap sebagai hempasan kehidupan. Laut adalah semesta kehidupan dalam merengguh kekuasaan-Nya.

Dadaku adalah laut Yang tak bertepi
Setiap detik datang gemuruh ombak Menggedor naluri kesadaran Menghempaskannya ke tebing-tebing karang Yang selalu setia menanti
Kadang sekali hempasan jadi oleng Kadang jadi nyeri dan ngilu Kadang pula ambruk
Menahan luka-luka hidup

Dadaku adalah laut Yang tak bertepi
Setiap menit diterpa timbunan sampah
Dari yang halus
Dan kasat mata

Ekstrimisme radikal dapat disaksikan pada puisi yang nyata-nyata menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa selayar sendiri berjudul:
Silajara Urakku

Kukalimbusi konjo pangngamaseang Rilino sangge riakhira’

Tidekmo pamuliliang
Nasabaiya mopangngamaseanna Allahtaala
Lapantama riurak bakkakku
Tarrusu mangerinyahaku Barakka lailaha illallah

Jika selayar adalah lokus spiritual, tanah milik Maha Pencipta, yang menjadi pembangkit gairah keber-Tuhanan, maka Malino sebagai lokus yang lain, yang disebut pula oleh penyair adalah lokus ma’rifat, suatu eskalasi transendental sebagai bagian dari prosesi keber-Tuhanan tadi. Tampak pada puisi ZIKIR LEMBANNA

BACA JUGA:  UMMI GURUKU

Di tepimu pun aku selalu menancapkan tasbih
Sebagai tanda kita adalah lahir dari rahim yang sama Nur Muhammad

Harus dikatakan lebih dahulu secara hipotetik dan serba hati-hati, ternyata penyair berikhtiar mencari Tuhan secara ma’rifat

Dengan mata terpejam Aku terus berlayar
Di atas perahu sajadah
Hingga hilang rasa Kecuali asma-Mu

Tema-tema waktu yang berjalan (la fuite du temps)mengisi beberapa puisi sebagai salah satu tema favorit para penyair. Ini misalnya dapat dibaca pada puisi perjalanan kehidupan dalam Nasihat Ayah:
–Tanri Giling
Saat aku ingin pamit
Menuju kota impian Engkau mendudukkan aku Di atas kursi kehidupan
“Jaga tanganmu, Nak.
Jaga lidahmu. Jaga nafasmu,” katamu
Aku hanya bisa mengangguk Seolah paham lisanmu
Yang bagai anak panah Lepas dari busurnya Menghujam ke dadaku