NusantaraInsight, Makassar — Ombak keruh yang membawa sisa-sisa kesedihan warga Makassar pasca rumahnya terendam menuju bibir pantai terasa kontras dengan namanya Pantai Biru. Ketika pria kecil berjubah panjang mengapit buku kenangan tentang kampung halamannya Tanadoang (Selayar).
Topi model kodok yang biasa bermahkota, tergantikan dengan dengan topi rimba menutupi kepala yang rambutnya mulai mengikis. Jenggot di dagu pun sudah mulai bercerita tentang panjangnya kehidupan yang pernah dijalani.
Dia Drs, M. Amir Jaya atau akrabnya disapa Ustadz Ami Jaya sebagai bukti ke-tokohan mencoba Mengaji Ombak Tanadoang di Pantai Biru Makassar yang saat ini wajahnya duka pada Sabtu 15 Februari 2025.
Tentu dirinya tak sendiri berlabuh, mengendarai bahtera Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Penulis Muslim Indonesia (DPP IPMI) dirinya membawa 48 judul puisi yang 99 % isinya tentang puisi alam dan kearifan lokal Tanadoang (Selayar).
“Ini tak berdiri sendiri, ini dipadu dengan spritualitas dengan adonan makrifat dengan bingkai Mengaji Ombak Tanadoang,” tulisnya.
Amir Jaya yang berusaha Mengaji Ombak Tanadoang memberikan ruang bagi Prof. Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum untuk membuat prolog untuk karyanya.
Prof Mardi menulis tajuk Puisi Sebagai Penjelmaan Ethos Primordial pada buku, mengupas karya Amir Jaya dari berbagai aspek.
Tulisnya, setiap karya sastra memiliki latar dan proses kreatif tertentu yang tidak sama satu dengan yang lain. Proses kreatif mengandaikan faktor lokus dan momen determinant dimana suatu karya sastra terinspirasi.
Soal proses kreatif pula yang membedakan antara puisi mignone …allons voir si la rose karya Ronsard dengan Correspondence karya Baudelaire.
Ronsard ingin bercerita tentang Cassandra Salviati sementara Baudelaire hendak menyampaikan hubungan mistik realitas melalui rasa dan bebauan kesturi dengan pencerapan transenden melalui suara-suara parau seperti gema berkepanjangan di balik tiang-tiang kuil.
Demikian pula, proses kreatif dalam kumpulan
puisi Mengaji Ombak Tanadoang menyatakan pencerapan terhadap lokus dan momen tersendiri, paling tidak pada fiksi tertentu.
Di sini deskripsi yang kuat adalah tentang pulau selayar, salah satu kabupaten kepulauan yang merupakan bagian dari Sulawesi Selatan.: karang, laut busa. Penyair begitu gamblang menyebut simbol-simbol geografis, seperti karang, busa dan ombak. Identitas visual tersebut begitu dalam menancap pada sanubari seolah maha karya yang memancarkan gigantisme luar biasa.
Ini dapat kita rasakan pada puisi berjudul Mengaji Ombak Tanah Doang(1) dan (2). Tanadoang adalah nama lain dari Selayar yang bermakna tanah tempat berdo’a: