Prof. Ismunandar, Ph.D.: “World Heritage” Harus Diusulkan Pemda

Tantangan beratnya adalah di mana masyarakat yang dekat dengan gua dan lukisan purba itu, ternyata banyak pertambangan, eksplorasi tambang. Padahal, kalau di “UNESCO World Heritage Site” sama sekali tidak boleh ada aktivitas pertambangan. Di daerah yang hendak kita usulkan tidak boleh ada pertambangan dan harus segera diputuskan bersama. Yang memutuskan adalah “stakeholders” yang ada di daerah lokasi tersebut.
“Bahkan bukan saja ‘site’ (lokasi konservasi), melainkan juga ‘zone’ (wilayah) tidak boleh ada kegiatan pertambangan. Apakah kita mau memperoleh manfaat ekonomi dari aspek pertambahannya atau pada aspek memelihara warisan dunia-nya,” Ismunandar menambahkan.

Masalah lain adalah, dalam pengusulan “World Heritage Site” itu, apakah warisan alam,seperti Komodo dan Ujung Kulon dengan badak bercula satu, atau di Papua, berupa Taman Nasional Lorenz, yang memiliki ekosistem pantai, sampai ekosistem salju abadi di Puncak Gunung Jaya Wijaya dengan wilayah yang sangat luas. Itu taman nasional alam. Bisa juga WHS berupa warisan budaya. Seperti juga Subak (tradisi irigasi) di Bali dan diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO 2012 atau Tambang Ombilin, di Sawahlunto, Sumatra Barat yang beroperasi tahun 1891 merupakan warisan dunia UNESCO (2019) juga karena merupakan situs teknologi pertambangan awal-awal dan tertua di Asia Tenggara dan satu-satunya tambang bawah tanah di Indonesia. Tambang ini dibuka pada abad XIX ketika zaman penjajahan Belanda.

Yang terakhir dan baru dicatat di UNESCO adalah Yogya, yakni keraton dan sekitarnya sebagai warisan budaya dunia.

BACA JUGA:  Menelusuri Jejak Budaya di Museum Kota Makassar

Pemerintah Sulawesi Selatan dan Dinas Kebudayaan pernah mengusulkan Leang-Leang itu sebagai warisan alam, keunikan biosfirnya dan geologi. Tetapi belakangan kita melihat lukisan purbanya tertua di dunia, sehingga kita mengubah menjadi campuran alam gua dan budayanya juga sangat penting (sangat tertua).

Namun ada juga masukan dari itu dijadikan “landscape culture” dunia, nilai-nilai budayanya tinggi, tetapi “landscape” atau alamnya tidak penting. Kita harus melihat alamnya harus memenuhi. Kriteria “culture” yang sangat penting, kemudian nanti kriteria alamnya disesuaikan.

“Ini narasi di Maros-Pangkep antara ‘budaya’ dan alam,” kata Ismunandar.
Kalau kita sangat serius untuk menominasikan Maros-Pangkep, lulusan Ph.D. University of Sydney (1998) mengatakan, pendekatan kita disarankan “landscape culture”, berikutnya kita harus menyiapkan nominasi dan ini merupakan pekerjaan besar. Oleh sebab itu disarankan, siapa yang menjadi pengusul atau pimpinan dari usaha ini. Kementerian Kebudayaan akan mendukung, tetapi harus dari “stakeholders” dulu di tingkat lokal. Komunitas atau ekosistem lokal harus berperan besar karena penjaga utama warisan itu adalah ada di daerah.
Kedua, segera buat tim nominasi dan “steering committee”-nya, yakni yang menyaksikan dokumennya. Juga “project manager” yang akan melibatkan banyak sekali pekerjaan.

br
br