Menurut Dg Beta, yang rekamannya terdokumentasi secara baik di YouTube, suatu ketika sang ulama besar itu melakukan perjalanan ke tempat, di mana dia merasa sudah waktunya untuk menetap. Maka dia pun menyatakan mau menetap dan memilih tanah yang sekarang menjadi kuburannya.
Lo’mo pun berkata “Pa’parrekangma balla, ka la mantang ma”. Artinya, “Buatkan saya rumah, karena saya sudah mau menetap.”
Di sinilah dia dibuatkan rumah untuk ditempati bersama keluarganya, sebelum menyertai Syekh Yusuf berangkat ke Mekah. Rumah itu disebut dengan Balla Lompoa I Lo’mo Ri Antang. Dari kata mantang inilah maka daerah di mana dia tinggal disebut ‘Antang’ hingga sekarang.
Aldi mengatakan, kini warisan yang masih dapat dilihat adalah Kitta Ati atau Kitab Hati, Pembacaan Kitab Hati ini menjadi tradisi yang berlangsung setiap 1-7 Suro. Namun, sangat disayangkan karena kitab ini tidak dalam bentuk tertulis, melainkan hanya berbentuk lisan.
Mengutip dari ungkapan Dg Beta bahwa “Kitab Hati memang tidak dalam bentuk tulisan. Namun, ketika seseorang terpilih maka dia dapat langsung melafalkan Kitab Hati tersebut.”
Aldi berterima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Kreativitas dan Literasi Digital, Dr Sumarlin Rengko HR, SS, M.Hum. Karena dengan tugas itu dia dapat belajar dan mengangkat tokoh I Lo’mo Ri Antang, sebagai salah satu tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di daerah ini. Kisahnya yang menarik diharapkan akan membuat kalangan milenial dan gen Z, tertarik mengkajinya dan menjadikannya referensi. (*)