Jejak Dua Generasi Pejuang Makassar

Oleh Arjuna Asnan Amin
Alumni Departemen Sejarah, FIB Universitas Hasanuddin

NusantaraInsight, Makassar — Di Makassar, setiap nama jalan sesungguhnya menyimpan kisah. Ada sosok yang berasal dari tokoh nasional. Ada pula yang lahir dari perjuangan rakyat di kampung-kampung. Di antara itu, ada dua nama yang berjauhan di peta. Namun berkelindan dalam darah dan sejarah. Jalan Yusuf Daeng Ngawing dan Jalan Abdullah Daeng Sirua.
Keduanya bukan sekadar penanda arah di kota yang terus tumbuh. Mereka adalah jejak dua generasi pejuang. Ayah dan anak, yang lahir dari Kampung Tidung.

Perjuangan mereka tak tercatat dalam buku pelajaran, tetapi hidup dalam ingatan warga dan batu nisan di pemakaman yang berada di Tidung Mariolo.

Sang ayah, Yusuf Daeng Ngawing, dikenal sebagai kepala kampung di Mapala dan pejuang kemerdekaan yang menentang penjajahan. Ia bukan prajurit berseragam, melainkan pemimpin moral yang menanamkan nilai keberanian dan kejujuran pada anak-anaknya.

Bersama sang istri, Yalus Daeng Te’ne, ia membesarkan keluarga dengan teladan kesederhanaan dan semangat perjuangan. Dari pasangan inilah lahir Abdullah Daeng Sirua, putra yang kelak melanjutkan api keberanian sang ayah.

BACA JUGA:  Jadwal Lengkap Liga 1 Pekan Ke-16

Abdullah Daeng Sirua lahir tahun 1922 di Kampung Tidung, Makassar. Sejak muda, ia dikenal cerdas dan teguh pendirian. Ia menempuh pendidikan di Mualimin Muhammadiyah Jongaya.

Kemudian melanjutkan ke MULO, sekolah Belanda yang kala itu menjadi simbol status sosial. Namun pendidikan itu tak membuatnya menjauh dari rakyatnya. Justru di sanalah semangat perlawanan dalam dirinya tumbuh semakin kokoh.

Dalam satu kisah yang diwariskan turun-temurun, Abdullah Daeng Sirua pernah ditembak oleh pasukan Belanda namun tidak mati. Ia selamat dan tetap melanjutkan perjuangannya.

Di mata rakyat Tidung, peristiwa itu bukan sekadar keajaiban, melainkan bukti bahwa keberanian bisa lebih kuat dari peluru.

Menurut penuturan H.Muh Yahya Daeng Nai, keponakan Abdullah Daeng Sirua sekaligus cucu dari Yusuf Daeng Ngawing, rumah keluarga besar mereka di Tidung pernah menjadi tempat persembunyian para pejuang.

Di sanalah Wolter Monginsidi sempat bersembunyi di sebuah sumur ketika dikejar oleh pasukan Belanda. Cerita itu kini hidup sebagai bagian dari memori kolektif. Bahwa, perjuangan tak selalu terjadi di medan perang, tetapi juga di halaman rumah-rumah sederhana.

BACA JUGA:  Kisah Gus Dur di Kairo Potongan Koran pun Jadi Pemuas Dahaga Membaca

Kini, makam Abdullah Daeng Sirua dan Yusuf Daeng Ngawing berada di Tidung Mariolo. Di lokasi yang sama dengan rumah tempat keduanya dulu tinggal dan berjuang. Di sanalah dua generasi pejuang ini beristirahat, di tanah yang mereka cintai dan pertahankan dengan segala keberanian.

br
br