Pada bagian lain kesan-kesan purnabaktinya, Tadjuddin Maknun mengutip pernyataan Menteri Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi yang menyebutkan hasil survei membuktikan bahwa terdapat tiga kendala yang dihadapi para mahasiswa di perguruan tinggi. Pertama, kurang membaca. Kedua, sulit menuangkan ide-ide dan gagasannya ke dalam tulisan. Ketiga, sulit mengomunikasikan ide-ide dan gagasan-gagasannya secara lisan.
Tadjuddin Maknun merespon pernyataan tersebut menekankan, ini menjadi tugas para dosen meningkatkan kemampuan mahasiswa dan menulis dan berbicara.
“Dalam mata kuliah kita ada ‘Retorika’. Juga, ini menjadi tugas Pak Dahlan dengan mata kuliah..Penulisan Kreatif,” kata Tadjuddin Maknun.
Sebagai salah seorang guru besar senior, Departemen Sastra Indonesia mengharapkan Tadjuddin Maknun berkenan meluangkan waktunya mengampu satu-dua mata kuliah.
Sebelumnya, dia sudah menyampaikan ingin menikmati masa pensiunnya dengan melaksanakan kegiatan sebagai ‘petani’ di tanah kelahirannya di Gowa. Dia sudah mendirikan satu yayasan yang di dalamnya mengelola sebuah pondok pesantren.
“Tetapi hati-hati, banyak pondok pesantren di Jawa yang ramai diberitakan,” usik salah seorang guru besar lainnya bernada kelakar.
Di pesantren yang dibinanya juga terdapat Majelis Taklim yang dapat menjadi objek pengabdian masyarakat Departemen Sastra Indonesia dalam meningkatkan kualitas Bahasa Indonesia mereka, terutama para guru tiga desa di sekitarnya dalam hal surat menyurat.
Di tanah kelahirannya, dia mengisi aktivitas sehari-hari dengan memberi makan ikan nila dan memelihara bebek dan angsa. Dia juga membangun museum alat-alat pertanian tradisional dengan keterangan berbagai bahasa dan menanam pohon yang sudah mau punah.
Acara ramah tamah purnabakti dosen ini diakhiri dengan penyerahan cenderamata. Biasanya berupa cincin emas beberapa gram, yang diharapkan jadi petanda ikatan emosional almamater dengan seorang purnabaktiwan. (mda).