Prof.dr. Muhammad Akbar, Ph.D., Sp.N.Subsp NIIOO(K), DFM Gabungkan Biomedik, Bioinformatik, & Neurologi, Tantangan Utama Pengembangan Obat

Drug
Foto bersama Dewan Profesor usai Prof.dr. Muhammad Akbar, Ph.D., Sp.N., Subsp NIIOO (L), DFM menyampaikan orasinya.

Prof. Muhammad Akbar, dalam orasinya bertajuk “Tantangan dan Peluang Pengobatan Masa depan di Bidang Neurologi” mengatakan, aspek krusial pertama dalam neuro-farmakologi adalah tentang pengembangan terapi.
“Dalam penemuan obat (drug discovery) penting untuk terlebih dahulu memahami patomekanisme penyakit. Secara historis kita bisa melihat pentingnya kolaborasi antara neurolog dengan farmakolog untuk mengembangkan model yang sesuai dalam mengevaluasi potensi transisi suatu senyawa untuk terapi klinis,” ujar ayah tiga anak (semua dokter) kelahiran Parepare 21 September 1962 tersebut.

Muhammad Akbar yang menyelesaikan Pendidikan dokter (1987) dan Sp.1 (Spesialis Neurologi, 1995) di Unhas, dan S-3 di School of Medicine, Hiroshima University, Japan (2001) itu mengatakan, kemajuan dalam bidang biologi molekuler, imunologi, dan ‘imaging’ telah membantu meningkatkan pemahaman terkait patomekanisme.

Kata suami Cita Marlika Parawansa, S.H., Sp.N., Dipl.CACS tersebut, pengembangan obat tidak semudah mengisolasi dan karakterisasi ‘compound’ (campuran bahan kimia untuk mengobati penyakit), tetapi juga melakukan ‘modelling’ dari ‘testing system’ yang akan digunakan.

Muhammad Akbar memberi contoh, dalam bidang epilepsi, kita cenderung melakukan ‘knock out genetie’ (suatu teknik genetik yang digunakan untuk menonaktifkan atau menghilangkan fungsi suatu gen tertentu dalam suatu organisme) atau proses ‘kindling’ dan studi elektrofisiologi untuk ‘modelling epileptogenesis’ bangkitan kejang, dan sindrom epilepsi genetik.

BACA JUGA:  SD Inpres Banta-Bantaeng 1 Makassar Punya 4 Inovasi yang Dilindungi HaKI

Tantangan berikutnya setelah penemuan dan pengembangan obat adalah implementasi dn penerapan terapi yang optimal. Secara tradisional, kata Muhammad Akbar, kita ketahui bahwa terapi dalam bidang ilmu kedokteran cenderung mengarakterisasi penyakit berdasarkan gejala dan tanda-tanda yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

“Saat ini para pasien dengan gejala klinis yang serupa ternyata dapat memberikan respon yang sangat berbeda walaupun memperoleh terapi yang sama,” kata Muhammad Akbar mengutip Giancomni and Meyer.

Muhammad Akbar mencontohkan, pasien Parkinson dengan terapi levodopa (obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson) yang bertujuan mengendalikan gejala tremor pada pasien.

Secara umum terapi berjalan lancar dan respon cukup baik terhadap terapi levodopa pada beberapa tahun pertama terapi. Namun, seiring dengan waktu, ada kemungkinan pasien mengalami komplikasi motorik atau pun nonmotorik akibat terapi levodopa itu sendiri.