Prof.Dr.Drs.H.Supardin, M.HI: Warisan, Isu Kompleks Perlu Seimbangkan Tradisi-Nilai Budaya

Meskipun demikian, implementasi sistem hukum waris di kedua negara tersebut (Indonesia-Malaysia) memiliki perbedaan karakteristik.

Menurut Prof.Supardin, Indonesia, berlaku sistem hukum yang bersifat campuran, yakni menggabungkan unsur hukum Islam, hukum adat, dan hukum perdata peninggalan kolonial.

Sementara itu, Malaysia menganut sistem hukum dualistik, di mana hukum syari’ah diberlakukan secara khusus bagi umat muslim, sedangkan hukum perdata diterapkan bagi nonmuslim. Indonesia juga menganut sistem dualistik bila penyelesaian warisan dilaksanakan di pengadilan, yakni untuk umat muslim sengketa warisan diselesaikan di Pengadilan Agama, sedangkan untuk nonmuslim sengketa warisan di selesaikan di Pengadilan Negeri (Peradilan Umum).

Perbedaan pola atau metode pembagian waris di beberapa negara tersebut, menurut Prof. Supardin, merupakan problematika yang muncul akibat perbedaan pendekatan dalam memahami dan menerapkan ajaran agama, khususnya hukum Islam dalam konteks sosial, politik, dan budaya setiap negara.

“Sebagian negara memilih memegang teguh tafsir klasik yang bersifat literal terhadap teks Alquran dan hadis, sementara negara lain cenderung mereformulasi hukum waris melalui pendekatan ijtihad modern yang mempertimbangkan keadilan gender dan dinamika masyarakat kontemporer,”ujar lulusan Doktor UIN Aluddin tahun 2013 tersebut.

BACA JUGA:  Sukses! UPT SMAN 4 Makassar Pemenang Apresiasi 25 Sekolah Terbaik Nasional pada Giat UKBI Adaftif Merdeka 2024

Dikatakan, problematika ini juga mencerminkan ketegangan antara tradisi dan modernitas. Antara normatif syari’ah dan tuntutan realitas sosial, serta antara nilai sakral dan nilai keadilan yang berkembang dalam dunia global saat ini.

Perbedaan tersebut tidak hanya menjadi soal teknis hukum, tetapi juga menyentuh aspek ideologis dan filosofis mengenai bagaimana masyarakat muslim menafsirkan keadilan dalam konteks warisan.

“Fenomena ini mengajak manusia untuk merenung lebih dalam: apakah norma agama bersifat statis atau dinamis. Apakah keadilan dalam hukum waris bersifat mutlak atau kontekstual,” ujarnya.

Terpenting: bagaimana memaknai keadilan ketika berhadapan dengan tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat. Di sinilah persimpangan itu terjadi. Antara yang lama dan yang baru. Antara teks dan konteks.

Prof.Supardin kini menyandang golongan/pangkat: IV/e (Pembina Utama) tersebut, dalam kariernya sebagai dosen di UIN Alauddin sudah menapaki berbagai jabatan, yakni Sekretaris Keporasi Pegawai Negeri Al-Muawanah IAIN Alauddin Makassar (1999-2004); Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah/IAIN Alauddin Makassar (2000-2004); Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, periode kedua Fakultas Syariah/IAIN Alauddin Makassar (mengundurkan diri); Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Kesehatan/UIN Alauddin Makassar (2008-2012); Kepala Laboratorium Falak Fakultas Syariah dan Hukum/UIN Alauddin Makassar (2012-2015); Ketua Jurusan Hukum Acara Peradilan dan Kekeluargaan/Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum/UIN Alauddin Makassar (2015-2019); Kepala Pusat Peradaban Islam Sulawesi Selatan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat/UIN Alauddin Makassar (2019-2023); Kepala Pusat Kajian Islam Sains dan Teknologi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat/UIN Alauddin Makassar (2023-2027); Mantan Calon Rektor dan Mantan Calon Ketua Senat UIN Alauddin Makassar (2023); Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Ikatan Alumni UIN Alauddin Makassar (2023-sekarang).

br