NusantaraInsight, Maros — Desa Bonto Matinggi yang terletak di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, dikenal sebagai salah satu desa yang masih menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan budaya lokal yang kental.
Namun, seperti halnya desa-desa lain di Indonesia, Bonto Matinggi tidak terlepas dari permasalahan sosial, salah satunya adalah praktik pernikahan dini.
Permasalahan ini menjadi perhatian penting karena berdampak pada kualitas hidup masyarakat, terutama generasi muda yang menjadi aset masa depan desa.
Kondisi ini mendorong adanya berbagai upaya pencegahan dan edukasi hukum agar masyarakat semakin memahami risiko serta aturan hukum yang mengatur tentang batas usia pernikahan di Indonesia.
Sebagai bagian dari Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) Universitas Hasanuddin, program sosialisasi mengenai larangan pernikahan dini pun digelar di Desa Bonto Matinggi, pada 21 Juli 2025 lalu.
Program ini disosialisasikan oleh Amin Sarotodo Zai, mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin, yang hadir sebagai pembicara utama, seperti disampaikan kepada media, Selasa (5/8/2025).
“Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam konteks hukum di Indonesia, pernikahan juga harus memenuhi ketentuan usia minimal yaitu 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Jika pernikahan dilakukan sebelum usia tersebut, maka hal itu termasuk dalam kategori pernikahan dini yang tidak hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif bagi kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial pasangan yang menikah di usia muda,” ujar Amin saat menjelaskan materi larangan pernikahan dini.
Selain membahas aspek hukum, Amin juga menyoroti dampak negatif dari pernikahan dini, mulai dari risiko kesehatan ibu dan anak, potensi putus sekolah, hingga masalah ekonomi yang kerap terjadi pada pasangan muda.
Ia menekankan bahwa pernikahan dini tidak hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia di tingkat desa.
Oleh karena itu, pencegahan harus dilakukan secara menyeluruh melalui peningkatan pendidikan, pemahaman agama yang benar, serta komunikasi yang baik dalam keluarga.
Kegiatan sosialisasi ini mendapat respons positif dari masyarakat setempat. Banyak warga yang antusias mengikuti pemaparan materi karena merasa mendapatkan wawasan baru tentang bahaya pernikahan dini dan cara mencegahnya.